Senin, 19 Februari 2018

Bawakan Aku Tabib

Ibu, tabib ke tujuh yang kau panggil kemarin
Membebat luka di hatiku
Membubuhi dengan ramuan dari bunga
Mengundang banyak kupu-kupu

Ibu, ada rasa bahagia yang menggelitik
Kala mereka terbang, di sudut-sudut hati
Ibu, tolong panggil tabib itu kembali!
Saat dia pergi, semua kupu-kupu ikut pula pergi

Ibu ....
Hatiku telah sembuh, tapi kosong tanpa penghuni
Bawalah dia kembali, Bu!
Kan aku ikat erat dia, agar tak dapat pergi lagi

*****

Setelah membenahi semua berkas dari atas meja, aku mengambil gawai yang ada di dalam laci meja kerja. Aku selalu lupa menengok saat pekerjaan menyita waktuku. Masya Allah, ada puluhan chat dari ibu dan kakak-kakakku. Mereka memintaku pulang secepatnya. Ada apakah? Tiba-tiba dadaku bergemuruh, tidak biasanya mereka begitu.
Setelah melihat meja telah rapi, baru aku bisa meninggalkannya pulang. Tidak enak rasanya, esok saat kembali bekerja, melihat meja berserakan. Mengganggu mood kerja. Meskipun sebenarnya aku hanya staf admin biasa. Sedari kecil, ibu mengajariku untuk merapikan apa pun barang yang telah aku pakai, sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang positif dalam hidupku. Mengingat sosok perempuan yang masih cantik dengan usia 70an itu, hatiku kembali berdegup. Semoga, beliau baik-baik saja.
Tidak memakan waktu lama, hanya setengah jam saja berkendara di atas motor matic, hasil kreditan yang aku cicil sendiri. Rumah terlihat ramai dengan kehadiran beberapa saudara dari bapak juga ibu. Lalu entah siapa mereka, begitu banyak orang asing yang aku belum pernah melihatnya.
Begitu aku melangkangkahkan kaki masuk ke halaman rumah, kakak pertamaku langsung menyambar tanganku. Menyeret lewat pintu samping dan tanpa memberi kesempatan mulut ini bertanya, dia mendorongku ke dalam kamar mandi.
"Lekas, mandi!" ucapnya singkat.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, aku ikuti saja kemauannya. Meskipun hati masih bertanya-tanya. Setelah selesai mandi, ternyata kakakku itu sudah bersiap di depan kamar mandi dengan membawa sebuah gaun berwarna putih, menyuruhku kembali masuk dan berganti pakaian. Gaun cantik berwarna putih, dengan bunga-bunga kecil berwarna pink. Sungguh  sangat manis.
Aku tertegun di depan kaca, yang terpasang di dalam kamar mandi. Berapa lama aku tidak melihat gambar yang ada di depanku ini. Selama ini, aku telah menyembunyikan diri. Bahkan pada diriku sendiri. Tidak pernah berdandan dan berlama-lama di depan cermin. Aku merasa kecewa dan terluka. Seorang lelaki yang pernah dikenalkan ibu padaku, pergi tidak kembali. Hanya karena, melihat telingaku yang tidak sempurna sebelah. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menyibakkan rambutku. Berjalan menunduk, tak berani menatap siapa pun yang ada di sekitarku.
Sebulan  lalu, ibu kembali mengenalkanku pada seorang lelaki. Dia begitu sopan dan baik. Dia terlihat berbeda dengan lelaki yang datang sebelum-sebelumnya. Melewati hari bersamanya terasa dunia begitu indah. Tapi aku tidak berani berharap banyak. Bahwa dia adalah jodohku. Sudah enam lelaki, menjauhiku setelah aku menaruh harapan besar bahwa mereka adalah jodohku. Awal yang baik, tapi selalu berakhir menyakitkan.
Aku tetap menjaga jarak dan menunduk setiap bertemu dengannya. Tidak berani terlalu membuka diri. Meskipun hatiku terasa bahagia, bagai ada taman penuh kupu-kupu. Yang setiap saat membuatku tersenyum. Dion, sepertinya tak pernah mempermasalahkan sikapku. Dia tetap penuh ceria mengajakku berbicara dan bercanda. Tapi, saat aku putuskan untuk mulai membuka diri, Dion tak datang lagi. Sisi hatiku kembali sepi.
"Ve, apa kamu telah siap?" tanya kakak sambil mengetuk pintu kamar mandi dengan tidak sabar.
Aku keluar, dengan mengikat tinggi rambutku. Aku merasa, ibu akan memperkenalkan lagi pada seseorang. Kali ini, aku telah siap. Mereka harus tahu kebenaran tentang diriku, mulai dari awal. Ku lihat ada gurat keterkejutan dari raut mukanya. Tapi setelah itu, dia terlihat tersenyum.
"Kamu cantik sekali, Ve!" bisiknya padaku. Aku balas dengan senyum tipis.
"Sebenarnya ada apa, ini?" tanyaku sambil berbisik pula.
"Hari ini, Dio melamarmu. Lelaki yang dulu dikenalkan padamu dulu."
Aku terkesiap, dan menghentikan langkahku.
"Kenapa?" tanyaku setengah tak percaya, "bukankah dia meninggalkanku setelah tahu, cacat yang aku miliki juga?"
"Sedari awal, dia sudah tahu tentang cacatmu itu. Tapi tidak pernah mempersoalkannya, bahkan mantap hati bahwa kamulah yang dicarinya selama ini. Dion tidak datang kemari agak lama, karena menemui orang tuanya. Meminta mereka, untuk  melamarkan kamu. Orang tuanya tinggal jauh di luar pulau, yang susah sinyal. Sehingga tidak sempat memberitahukanmu kepergiannya. Seperti itulah tadi penjelasannya pada ibu dan kakak tadi siang."

Kupu-kupu ... akankah kau kembali
Bersarang di hati, menggelitik hati
Membuat bibir tak henti mengulum senyum
Membuat indah hari-hari sepiku

***** tamat *****