Sabtu, 30 September 2017

Dodol Pengantin Baru

Sebagai pengantin baru, Raiso dan Amis sedang berbunga-bunga. Malam pertama terlewati sudah.

Pagi menjelang, Raiso terlihat gelisah. Menbongkar tas kosmetik sampai tas koper yang belum sempat ditata di dalam lemari. Kamar terlihat berantakan bagai diserang badai.
Amis yang baru terbangun dari tidurnya terkejut.

"Ayang! Kamu, kenapa?"

"KesoFt ... KesoFt-ku hilang. Itu barang berharga milikku, Mis. Tanpanya, aku tak bisa menghadapi dunia," kata Raiso sambil menangis, ia putus asa.

"Sepenting itu, ya? Memangnya KesoFt itu apa, sih?" Amis mendekati Raiso dan memeluknya dengan mesra.

"KeSoFt adalah produk sabun kefir 100% alami, tidak mengandung Hydroquinon, Mercury, atau bahan kimia. Aku tak sanggup hidup tanpanya."
Raiso sesenggukan, membayangkan wajah cantiknya menjadi kasar, kusam, dan penuh jerawat. Sebagai artis terkenal, ia tak sanggup menghadapi para penggemarnya.

Pagi yang seharusnya penuh kegembiraan, menjadi sedikit mendung karena kegalauan yang dialami perempuan cantik berkulit putih bersih itu.
Amis pun, tak sanggup membujuknya, meskipun dia menjanjikan akan mrmbelikan banyak produk kecantikan untuk kulit. Terlihat sekali, istrinya yang memang terlihat mulus, bercahaya, dan penuh pesona itu, hasil nyata dari sabun KesoFt yang telah lama merawat kulitnya.

"Amiiis!!!" jerit Raiso dari balik dapur, membuat suaminya yang baru bercukur terlonjak kaget. Kumisnya terpotong tak beraturan, beruntung tidak mengenai kulitnya.

"Ada, apa sayang?" Terburu-buru ia berlari menemui istri tercinta, takut terjadi apa-apa.

"Ini ... ini ... !" Raiso menunjuk-nunjuk ke dalam lemari es dengan mata melotot, "ini kan, KesoFt aku. Kenapa kamu masukkan freezer?"

"Aku pikir ini camilan, Yang. Maafkan aku, ya!" jawab Amis dengan rasa bersalah. "Habis, bentuknya persis dodol jumbo, itu kan kesukaan aku. Kupikir kamu sengaja membelikannya untukku."

"Kamu yang dodol, keluar kamar mandi gak pakai handuk dan cemong. Untung kita belum punya pembantu." Raiso tidak jadi marah, tapi tersipu-sipu malu melihat suaminya keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benang dan mulut belepotan sabun cukur.

=== tamat ===

Minggu, 24 September 2017

Berkah dan Musibah

"Ramdan!" Mak Sum terpekik kaget, melihat kepulangan anaknya yang tak biasa.

Kaki kurus Ramdan terlihat berdebu, sandal jepit butut yang biasa ia pakai tinggal sebelah, ditenteng dengan tangan kirinya.Sedang tangan kanannya menjilati es krim yang biasa ada di iklan televisi. Tapi bukan itu yang membuat perempuan itu terkejut.
Kepala anak semata wayangnya itu terlihat ada bekas darah dan sepertinya asal telah dibersihkan lalu ditutup plester ala kadarnya.

Anak berusia delapan tahun itu pulang diantar Pak Marjo, pedagang kue di pasar. Mak Sum biasa menitipkan kue padanya. Lalu ada seorang perempuan gemuk dengan rambut dicat merah, dandanan wajah yang menor melengkapi penampilannya, ia berjalan di belakang anaknya. Tangan perempuan itu penuh perhiasan emas, berkilauan ditimpa cahaya matahari.
Dan kedatangan mereka yang ganjil, membuat beberapa tetangga ikut berdatangan ke rumahnya yang sempit.

Dua jam yang lalu, ia meninggalkan Ramdan di pasar. Ada pesanan kue mendadak dari pelanggan, anaknya itu tidak mau ikut pulang. Ia biasa berada di pasar, terkadang membantu mengangkat barang-barang dari orang-orang yang berbelanja di sana. Dengan cara itu, ia mendapatkan sedikit upah. Uangnya dia tabung, anak kecil itu tidak pernah merepotkan Mak Sum. Jika menginginkan sesuatu, ia selalu berusaha mengumpulkan sendiri uang. Meski emaknya melarang ia bekerja sebagai kuli angkat, tapi anak berperawakan kecil kurus itu tidak peduli. Sampai akhirnya, emaknya pasrah dengan kemauan keras dari anaknya itu.

Para pedagang sekitar lapak Pak Marjo, sudah hapal dengan ibu dan anak ini. Mereka terkenal jujur dan kue buatannya juga enak. Sesekali, ada pesanan kue datang dari pelanggan Pak Marjo yang diberikan pada Mak Sum. Seperti hari ini, pesanan mendadak yang diberikan, langsung diterimanya. Kebetulan semua bahan masih tersedia di rumah. 

Mata Mak Sum terpaku melihat kondisi anaknya, yang dengan cueknya masuk rumah dan duduk di dipan tua yang terletak di pojok rumah. Masih asyik menjilati es krimnya.
Ya, rumah petak yang disewanya memang hanya terdapat satu ruangan saja. Jadi, dipan yang terbuat dari bambu itu ia gunakan untuk tempat duduk bagi tamu sekaligus tempat tidur jika malam tiba.

"Assalamu'alaikum ...." Pak Marjo menyapa Mak Sum.

"Eh ... wa'alaikumsalam. Maaf, silakan masuk," jawabnya sambil tergopoh-gopoh mempersilakan tamunya masuk. "Ada apa ini, ya? Kenapa anak saya babak belur begini, Pak?"  ia bertanya dengan suara bergetar menahan tangis.
Rasanya seluruh badannya ikut sakit menyaksikan tubuh kecil anaknya.

"Maaf, Mak. Kita ke sini mau meluruskan masalah si Ramdan sama Ibu ini." Pak Marjo menunjuk perempuan gemuk yang berdiri terdiam di sampingnya, menundukkan kepala dan terlihat salah tingkah.

Mereka,  berdiri saja di depan perempuan yang masih kebingungan itu. Maklum, dipan yang ada hanya cukup untuk dirinya, Ramdan dan satu tetangga yang ikut merangsek masuk saat kedua tamunya datang.
Yang lainnya berdiri sambil berbisik-bisik ingin tahu apa yang terjadi pada Ramdan dan si Ibu tadi.

Lalu Pak Marjo menceritakan kronologi pemukulan Ramdan. Peristiwa berawal dari ibu gemuk yang ternyata bernama Suzanti itu berbelanja. Setelah selesai belanja, ia mampir ke lapak Pak Marjo untuk membeli beberapa kue. Saat mau membayar, dompetnya raib. Naas, di dekatnya hanya ada Ramdan yang sedari tadi mengikutinya. Anak kecil itu berharap, bisa membawakan tas belanja perempuan itu.
Dengan kalap, Suzanti menuduh Ramdan telah menyopet dompetnya. Meski anak malang itu berkata tidak, perempuan yang panik itu terus memukuli membabi buta dan menuduhnya maling.

"Saya langsung melerai, Mak. Begitu juga orang-orang sekitar. Kami diam sejenak karena kaget.Tapi begitu sadar, kami langsung melerai dan menjelaskan ke ibu ini.
Kalau Ramdan anak baik dan jujur. Setelah tenang, ibu ini baru ingat. Kalau dompetnya dia taruh di kantong belanjanya, bukan tas besar yang ditentengnya," jelas Pak Marjo. Sementara, ibu berpenampilan bak artis panggung di acara-acara hajatan itu terlihat meneteskan air mata. Mungkin, ketakutannya sudah memuncak. Apalagi para tetangga yang ikut menyimak, mulai bersahutan untuk komentar.
Ada yang gemas dan menyarankan untuk membawa masalah ini ke polisi, akan tetapi  ada juga yang menyarankan untuk berdamai saja. Lama kelamaan, ruangan sempit itu menjadi penuh sesak dan ramai oleh tetangga yang ingin tahu.

"Maafkan saya, Bu. Saya khilaf dan telah salah sangka pada anak Ibu. Jangan bawa masalah ini ke polisi ya, Bu. Saya mohon ... ini ada sedikit uang, untuk berobat. Tolong saya, Bu." Wajah bulatnya basah, berlinang air mata.
Lalu ia mengeluarkan sepuluh lembaran uang berwarna biru. Meletakkannya di meja kecil, yang terletak di sebelah dipan tempat Mak Sum duduk.

"Tenang ... tenang ...! Kita di sini, bukan untuk mencari ribut. Tapi untuk.mendapatkan solusi. Kalian jangan memperkeruh masalah!" Pak Marjo berkata tegas dan keras di hadapan para tetangga yang ribut, lalu pandangannya kembali beralih ke Mak Sum.

"Sudahlah, Mak. Masalah ini lebih baik tidak usah sampai ke polisi. Akan panjang urusannya. Emak juga nanti, yang repot."
Pak Marjo menyarankan Mak Sum untuk menerima saja upaya damai dari Ibu Suzanti.

Mak Sum mengangguk pasrah. Ia hanya orang kecil, tidak tahu apa-apa, mungkin lebih baik mengikuti saja, apa yang disarankan Pak Marjo. Upaya damai akhirnya diambil.dan perdamaian itu diakhiri dengan bersalam-salaman dan berpelukan antara mak Sum dan Suzanti. Kemudian, dengan para tetangga yang telah menjadi saksi. Lalu mereka bubar satu persatu.

"Yang sabar, Mak. Anggap ini berkah Ramadhan, bukan musibah."

"Cepat periksa ke puskesmas, Mak. Siapa tahu kepala Ramdan ada sakit yang serius."

"Wes, Mak. Mungkin memang ini jalannya rezekimu. Harus melalui seperti ini dulu."

Dan banyak ucapan lain dari tetangga yang bersimpati padanya, sebelum mereka pamit pulang. Danmeninggalkan Mak Sum juga Ramdan menenangkan diri.

Kini, tinggal mereka berdua. Mak Sum menangis lagi, saat melihat sekujur tubuh anaknya. Lalu ia menggendong tubuh kecil Ramdan ke kamar mandi yang terletak di luar rumah. Ia memandikan dan membersihkan tubuh anaknya itu, dengan penuh kasih sayang.

"Mak, maafkan Ramdan. Tadi batal puasanya. Kata Pakde Marjo kalau sakit boleh batal. Terus Ramdan dibelikan es krim. Batal deh, puasanya."

Mak Sum hanya mengangguk dan tersenyum. Hatinya masih perih, merasa gagal melindungi anak semata wayangnya. Rasa sesal masih terasa di dada, karena telah meninggalkannya tadi.

Tapi, mungkin benar. Ini adalah jalannya rezeki dari Allah untuk anakku. Berkah di bulan Ramadhan. Biar bisa beli baju dan sendal baru.

Tidak lama kemudian, adzan magrib berkumandang.

"Alhamdulillah ...." diteguknya segelas air dari kendi di meja.
Karena hanya air yang ia punya untuk berbuka. Tanpa kurma, es cincau, es kelapa muda, atau pun kolak.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar pintu diketuk kasar. Mak Sum membukakan pintu segera. Tanpa salam, Telasih masuk. Tetangga sebelah rumahnya, ia istri dari preman kampung. Suaminya baru saja kena tangkap sewaktu ada razia preman.

"Utang uang dua ratus, Mak," katanya tanpa basa basi. Enteng, seperti saat seseorang meminta segelas air putih.

"Seratus aja ya, Sih. Gak usah utang, tak kasih. Ikhlas aku," ujar Mak Sum sambil mengambil uang yang masih tergeletak di meja. Mata Telasih mendelik melihat lembaran uang itu.

"Halah Mak, jangan pelit! Dapat rezeki itu dibagi, biar barokah. Seminggu lagi tak kembalikan. Wong dua ratus ribu saja, kok!" Sambil matanya tak lepas dari uang yang ada ditangan Mak Sum.

"Kalau mau, uang seratus ribu ini, ambil. Atau gak usah sama sekali. Aku gak mau kasih hutang sama kamu!" seru Mak Sum dengan nada tinggi.
Bukan tanpa alasan ia bersikap tegas pada perempuan tak tahu sopan itu. Sudah menjadi bahan pembicaraan tetangga, jika ia mudah sekali berhutang, tapi tiba-tiba pikun saat tiba waktunya membayar.

Telasih menyambar uang seratus ribu dari tangan Mak Sum, lalu berlalu pergi. Tanpa pamit atau mengucap terimakasih. Mak Sum mengurut dada. Mungkin hidupnya memang lebih beruntung dari Telasih. Untuk itu, ia berusaha tidak mempermasalahkan sikapnya.

"Alhamdulillah Ya Allah, telah kau cukupkan rezekiku hari ini. Kau yang memberi dan Kau pula yang mengambilnya. Terimakasih atas berkah yang Kau berikan pada hambamu ini."
Doa Mak Sum seusai menunaikan shalat magrib bersama Ramdan anaknya.

**** Tamat ****

*tulisan ini sudah pernah diikutkan challenge dan merupakan tema kedua dari 30 days challenge PT 3 yang diadakan oleh Infinity Lovink. Sebuah grup di FB

Sabtu, 23 September 2017

Menyambut Ramadan

Masjid Al-Akbar terlihat penuh sesak oleh jama'ah yang tengah khusyuk mendengarkan ceramah ustaz Farid. Pengajian yang diselenggarakan dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadan.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Ustaz mengutip ayat Al-Baqarah 183, untuk menerangkan wajibnya puasa bulan Ramadan yang akan datang, sebentar lagi.

"Jadi Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, yang dirahmati Allah. Sudahkah mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadan? Apa saja yang seharusnya disiapkan?" Ustaz mulai menerangkan tentang persiapan yang harus dilakukan seorang mukmin, jika menghadapi bulan Ramadan.

Sementara itu, di antara jama'ah pengajian perempuan, Mimin yang sedari awal ceramah dimulai telah mengantuk. Tiba-tiba berpikir dan mulai melamun. Ibu satu anak itu berpikir.

Iya, mau puasa nih. Belum mempersiapkan apa-apa nih. Mana harga barang-barang sudah mulai naik.

Dibukanya gawai layar sentuh miliknya, ia ingat teman pesbuk yang kemarin menawarkan sembako. Konon katanya, mau naik harga dua kali lipat.

Semoga belum habis terjual. Biar dah, uang belanja bulan ini habis. Mumpung ada promo.

Segera, tangannya sibuk memencet sejumlah nama di kontak WA. Mencari teman yang dimaksud.

Mimin: JENG, PROMO YANG KEMARIN MASIH? AKU MAU DONG, DUA PAKET SEMBAKONYA. YANG BELI SERBET MAKAN SELUSIN BISA TEBUS MINYAK GORENG SEHARGA 22.900 ITU LHO.

Teman Mimin: OH, YANG KEMARIN DAH LANGSUNG ABIS CYIN. ADA PROMO BARU LAGI, BELI 2 CENTONG NASI CANTIK, BISA TEBUS MURAH GULA SEHARGA 11.700. HARGA NORMAL 13RB/KG LHO. DAN MAU NAIK LAGI JADI 15RB. MAU TAH, MUMPUNG MASIH ADA DUA PAKET NIH.

Mimin galau sejenak. Kalau gak diambil, ntar nyesel. Diambil, centong nasi di rumah masih bagus.

Ah, tapi kan bisa untuk simpanan. Mumpung promo ini.

Akhirnya, dia pun mengambil paketan itu. Dan tanpa terasa, ibu muda itu membeli juga beberapa barang yang ditawarkan selanjutnya.

Beberapa hari kemudian, semua barang pesanan datang. Dan sejumlah uang pun berpindah tangan. Mimin termenung, gundah gulana di depan barang-barang pesanannya yang menumpuk di atas meja makan. Di sebelahnya tergeletak dompet warna pink kusam dengan resleting menganga. Habis sudah uang belanja jatah sebulan.

"Bulan puasa belum datang, kamu sudah beli gula, minyak, tepung, kacang ijo, agar-agar, makanan kaleng, sirup, baju-baju, sandal, sarung. Ini lagi, segala centong nasi, sendok garpu plastik, garukan punggung, gelas, piring. Semua sudah ada, dan belum digunakan. Kenapa beli lagi?" Suaminya marah-marah sambil ngomel-ngomel melihat tumpukan barang yang dipesan istrinya.

"Puasa, seharusnya pengeluaran bisa lebih irit, Mah. Ceramah kemarin, Ustaz bilangnya begitu. Bukan malah membengkak, Mah. Ini malah, puasa juga belum. Sudah kalap belanja. Terus, hari ini kita mau makan apa? Uang papah cukup buat bensin, nih!"

"Yaaa ... terpaksa, kita makan seadanya ini aja. Agar-agar sama sarden, Pah. Soalnya Mamah lupa, beras kita sudah habis. Maaf ya, Pah. Mamah telah khilaf." Mimin menjawabnya dengan kalem.

"Apa?!" Suaminya langsung garuk-garuk tembok karena kesal.

===Tamat===

*tulisan ini pernah diikutkan 30 days challenge, yang diselenggarakan infinity lovink di laman FB.