Selasa, 25 Februari 2014

Kuminta Jangan Pergi

Baru seminggu, Atty mengecap manisnya pernikahan. Ketika cobaan itu datang.
Entah bagaimana awalnya, Juni, suaminya menjadi berubah dalam waktu singkat, seratus delapan puluh derajat. Hampir setiap hari, lelaki berperawakan sedang itu pergi tanpa pamit.

Akhirnya, Atty memberanikan diri untuk bertanya pada suaminya itu.
"Mas, bukannya Aku posessif. Tapi bolehkah Aku tahu, setiap hari Kamu pergi kemana? Aku cemas, Mas," tanya Atty hati-hati.
Tapi di luar dugaan, suami yang dulu dikenalnya sebagai orang yang santun, membentaknya.
"Itu bukan urusanmu!" jawabnya kasar.
Atty kaget dan hanya menangis. Perempuan lembut itu tidak mengenal lagi orang yang dia cintai selama ini.

Hari ini, sebulan sudah usia pernikahan mereka. Hubungan Juni dan Atty semakin memburuk. Seperti robot, Juni selalu pergi sesaat setelah menerima sms atau telepon dari seseorang. Perempuan malang itu merasa ada yang tidak beres pada suaminya, tapi tidak tahu apa. Setelah diam-diam mencari tahu, akhirnya Atty menemukan jawabannya. Seorang perempuan telah merasuki pikiran suaminya. Hati perempuan itu pun hancur, impian indah yang dicita-citakannya musnah. Juni lebih memilih perempuan lain bernama July. Seseorang yang sama sekali belum pernah dikenalnya.

Sementara itu, Juni baru saja mengantar July pulang ke rumahnya. Mereka terlihat bahagia, bercanda di bawah sinar bulan purnama.
"Besok pulang kantor, langsung ke rumahku ya," kata July manja, "Gak usah pulang dulu."
"Baik...sayaaang," jawab Juni sambil mencubit pipi July.
Dengan sedikit enggan, lelaki beristri itu pamit pulang.

Di dalam rumah, seorang perempuan tua sudah menunggu July.
Tanpa memberi kesempatan untuk duduk, perempuan bermata lelah itu mencecar July dengan sejumlah kata.
"July! Apa Kau sudah gila, Juni itu sudah beristri. Untuk apa kalian masih berhubungan. Sadarlah, Dia bukan lagi milikmu, Nak. Tetangga sudah menggosip macam-macam tentangmu. Masih banyak lelaki lain yang lebih baik darinya," kata ibu bertubuh kurus itu.
Bukan menurut, July menyeringai dan berkata sinis,"Ibu tahu apa, lebih baik siapkan makan untukku. Aku capek, ini uang 500 ribu untuk Ibu. Tadi Mas Juni yang kasih."

Tanpa menunggu ibunya berbicara lagi, perempuan berlesung pipit itu masuk kamar. Wajah cantinya terlihat misterius. Bau bunga-bunga baru dan busuk menguar di dalam kamar 3x3 meter itu. Terlihat sebentuk kotak kayu di atas meja rias kecil di pojok kamar. July mengambil kotak itu, lalu dia bawa ke atas kasurnya. Dia rebahkan tubuhnya yang mungil, lalu dia buka kotak itu.
Tiba-tiba, matanya merah dan tertawa mengerikan keluar dari bibirnya.
Dia ambil secarik kertas dari dalam kotak itu dan membacanya...
Setelah puas, July mengembalikan  kertas itu kedalam kotak kayu yang juga berisi foto-foto Juni di atas sebuah boneka kain berlilitkan benang merah.
Kertas itu, bertuliskan: Kuminta jangan pergi dari sisiku. Kau sudah berjanji padaku, tidak akan meninggalkanku. Kau sendiri yang bilang padaku, bahwa hatimu hanya milikku. Akan kugenggam erat hatimu, takkan kulepas sampai aku mati.

Minggu, 23 Februari 2014

Kisah Cinta 3 Makhluk Hidup

Melihat ulat bulu hitam. Dengan bulunya yang lebat dan cara berjalannya yang pelahan,
membuatku tergelitik untuk membuat kisah tentang ulat bulu.

Alkisah, sebatang pohon alpukat yang tumbuh di depan rumah seorang Juragan sapi.
Pohon ini baru saja menginjak masa remaja. Tumbuh subur dengan daun hijau yang lebat dan tubuhnya begitu sehat hasil pupuk alami dari kotoran sapi.
Dengan tubuh tinggi sedang, pohon alpukat ini begitu disayang oleh pemiliknya.
Harapan untuk mendapatkan buah alpukat yang lezat selalu memberi semangat si Juragan untuk selalu setia menyiram dan memberi pupuk kandang secara rutin.
Apalagi, dengan mulai munculnya bunga-bunga alpukat yang siap menjadi buah.

Tidak disangka dan tidak pula diduga, bukan hanya si Juragan sapi yang melirik keindahan tubuh dari si pohon alpukat. Dengan daun yang segar dan rimbun, membuat sekian puluh ekor ulat bulu nemplok tanpa tahu malu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja mereka sudah berada di pohon malang itu.
Pohon alpukat yang ramah, tidak kuasa untuk menolak kedatangan mereka.
Ulat-ulat itu begitu cantik, dengan warna kuning dari bulu mereka yang lebat.
Pada awalnya, pohon alpukat tidak berkeberatan jika mereka memanfaatkan beberapa helai daunnya yang subur untuk makanan mereka. Dia juga merasa terhibur dengan canda tawa keluarga ulat yang ternyata jenaka. Tiada hari tanpa tertawa.

Sampai suatu saat, hari sudah tidak menyenangkan lagi bagi si pohon alpukat. Si ulat yang kerjanya hanya makan, tidur, dan bercanda membuatnya sangat menderita. Seluruh daunnya hampir habis dimakan oleh ulat-ulat pemalas itu. Rasa suka pada ulat-ulat itu berubah menjadi rasa jengkel yang luar biasa pada diri pohon alpukat.

Akan tetapi, si pohon malang tidak dapat berbuat banyak. Sama halnya dengan pemilik yang menyayanginya, dia hanya pasrah. Ulat-ulat itu semakin tidaka terduga banyaknya.
Bisa terbayang bagaimana mereka yang rakus, memakan hampir semua daun dari si pohon.
Akan tetapi, seperti yang sudah digariskan. Ulat-ulat itu bertransformasi menjadi kepompong.
Bersiap-siap menjadi kupu-kupu yang indah. Dalam hitungan minggu, satu per satu ulat-ulat itu pun keluar dari kepompong masing-masing. Terbang menjadi puluhan atau mungkin ratusan kupu-kupu yang indah.
Menyaksikan proses mereka menjadi kupu-kupu, si pohon menangis. Begitu indahnya.
Ulat yang dulu sangat menyusahkan, akhirnya terbang dan pergi meninggalkannya sendiri.
Gembira, meskipun mereka pergi tanpa berterimakasih.
Tidak peduli pada keindahannya yang sekarang sudah hilang.
Si pohon alpukat menangis bahagia, karena dia tetap bisa memberikan buah alpukat lezatnya pada majikan tersayang, yaitu Juragan sapi.

Rasa geli dan gatal yang di akibatkan ulah si ulat bulu sudah tidak dia masalahkan lagi.
Tetap bersyukur karena pada umur yang masih begitu muda, dia sudah memberikan manfaat bagi banyak makhluk hidup lain.
Cintanya pada ulat-ulat yang tak tahu diri itu, tidak membuat si pohon menyesal.
Dan dia juga sangat lega karena cinta Juragan sapi sudah dibalasnya dengan memberikan buah alpukat lezat yang berlimpah.

Senin, 10 Februari 2014

"Rumah Mewah"



Mempunyai rumah mewah? wow, semua orang juga mau. 
Tapi sayang, kondisi setiap orang tidaklah sama.
Ada yang bisa dengan mudah mewujudkan rumah idaman dengan cepat, 
ada yang biar lambat tetapi akhirnya terwujud, dan ada yang harus memendam impian dalam-dalam agar tidak stres.

Home Sweet Home dan Rumahku Istanaku.
Istilah yang selalu di pakai banyak orang untuk menggambarkan kesyukuran. 
Bagaimanapun kondisinya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain rumah sendiri.

Begitu juga dengan Keluarga Badrun, tinggal di ‘rumah mewah’ tidak menjadikan mereka orang yang lupa bersyukur. Mereka selalu ceria di berbagai kesempatan.
Meskipun pada awal menempati rumah tersebut, bukan tanpa cobaan.
Saat musim panen kedelai tiba, serangan ulat bulu tak dapat dihindarkan. 
Huft... jangan tanya seramnya.
Setiap mau tidur atau duduk harus selalu waspada, menoleh kanan-kiri, melihat atas-bawah, melongok ke bawah kolong tempat tidur, dan membuka-buka bawah bantal.
Benar-benar heri (heboh sendiri).
Kalau keluar rumah, lain lagi ceritanya. Jalan-jalan penuh dengan ulat bulu yang sedang berjalan santai. Menjijikkan sekali, saat kaki menginjak tubuh-tubuh mungil mereka.
Kries...kries....
Yach...jijay....

Akan tetapi, jika malam tiba.
Suasana yang begitu sepi menjadi indah.
Waktu hujan datang, suara katak bersahut-sahutan. 
Dan  seperti tidak mau kalah, para jangkrik juga ikut heboh menyanyikan lagu untuk malam.
Tapi itu dulu, saat rumah masih jarang di dirikan.
Hati begitu tenang dan damai saat mendengar nyanyian alam.
Saat menengadah ke langit, bintang-bintang bertebaran di gelapnya malam. 
Subhanallah...cantiiik sekali.
Meskipun jalan untuk masuk ke rumah masih becek dan terjal, 
mereka tidak merasakan itu sebagai masalah besar.
"Alaah...anggap saja sedang Of Road," kata Pak Badrun suatu ketika.

Tapi musim ulat bulu sekarang sudah berakhir. 
Sekarang rumah sudah banyak yang didirikan.
Suasana malam sudah tidak lagi sama. Suara katak dan jangkrik tidak pernah terdengar lagi. 
Mereka tergusur secara alami, pindah ke habitat yang lebih cocok dengan kehidupan mereka.

Pada satu siang, Bu Badrun menjemput anak-anak pulang dari sekolah. 
Saat melewati pematang sawah yang sepi, ibu dari dua orang anak itu berteriak keras-keras...”Aaaaah...!”
Terkejut, kedua anaknya pun langsung bertanya,”Ibu kenapa, sih?”
Dengan tertawa, ibu centil ini menjawab enteng,”Ah, tidak. 
Kalau melihat sawah yang sepi, Ibu suka pingin teriak. Lega rasanya kalau sudah begitu.”
“Ooo...” jawab mereka serempak.
Setelah melewati pematang sawah yang baru saja ditanami padi, Bu Badrun berbelok masuk menuju jalan perumahan tempat mereka tinggal.
Saat sudah mendekati blok rumah mereka,
tiba-tiba kedua anak Bu Badrun berteriak kencang dan tertawa bebarengan,
”Aaaa...! Hahaha...”.
Ibu bertubuh gemuk itu langsung menegur mereka. 
“Hush, kok teriak-teriak di sini! Nanti yang punya rumah di sini pada keluar, loh. 
Dikira ada apa-apa nanti.”
Ajeng, anak pertama Bu Badrun menjawab,”Kan ada sawah, kita juga pingin lega seperti Ibu tadi.”
"Iyaaa, Bu..." sahut Andi membebek.
“Aih...anak pintar. Ibu tadi kan teriak di pematang sawah. Kanan kiri sawah semua, sayang. 
Tidak ada orang yang mendengar kita berteriak. Kalau di sini beda. 
Kiri memang sawah tapi sebelah kanan kan, rumah.” Bu Badrun memberi penjelasan sambil tetap menjalankan motor  butut miliknya.
“Ooo...begitu,” jawab mereka kompak (lagi).
Lalu mereka tertawa bersama.

Begitu indah hidup jika memandang semua masalah dan keadaan dengan pandangan positif. "Rumah mewah”  (mepet sawah), tidak akan menjadi nyaman jika kita tidak melihat dengan rasa syukur. Begitupun sebaliknya, rumah mewah tidak akan membuat penghuninya nyaman jika masih merasa kurang.

Selasa, 04 Februari 2014

Dermawan kesedihan

Fifi menutup buku diary biru miliknya. Hatinya sedang kacau.
Sudah seminggu sejak Miko---teman lama---menjadi teman di facebooknya, statusnya menjadi fakum. Bagaimana tidak, apa pun yang ia tulis. Menjadikan Miko GR setengah mati.
'Ok, aku memang pernah mencintainya' pikir Fifi, tapi itu dulu. Now it's over...

Belum lagi status Miko yang, subhanallah... lebay.
Dan tidak lupa, dia selalu mengabarkannya lewat sms bahwa statusnya adalah ungkapan jujur dari hatinya. 'Sinting!' runtukku.
Mengumbar rayuan maut di status facebook hanya untuk mencari perhatian...apa dia sudah gila.

Bertahun-tahun yang lalu, Fifi mengenal Miko di sebuah acara sekolah.
Waktu itu, Miko menjadi panitia dan Fifi adalah peserta. Sejak saat itu, Miko selalu ada di mana pun Fifi pergi. Selalu menunjukkan perhatian dan perasaan yang mendalam. Satu tahun berlalu, hatinya pun luluh juga. Saat Miko menyatakan cinta, ia menerimanya.
Baru satu minggu mereka berpacaran, ayah Fifi mengetahui hubungan mereka.
Beliau murka dan meminta mereka putus. Alasannya mereka masih sekolàh, belum pantas berpacaran. Miko tidak terima, ia anggap itu hanya alasan yang dibuat-buat. Hati Fifi perih.

Keesokan harinya, tersiar kabar. Miko berpacaran dengan anak jurusan lain.
Sesak rasanya dada ini, tapi semua harus ia terima. Banyak yang mengatakan aku bukanlah satu-satunya cewek dekatnya.
'Ya Allah, mungkin dia bukan untukku' teriakku dalam hati. Aku menangis sampai mata sembab.
Tapi setelah hari itu, aku putuskan untuk tidak akàn menangis lagi untuknya. 
Aku tidak perduli lagi kabar tentangnya. Sahabat dekat Miko selalu mengatakan jika apa yang dilakukannya, hanya pelampiasan semata. Cintanya hanya untukku saja.
Bukan tersanjung, aku muak mendengarnya.

Dulu, kau selalu membuatku banjir air mata---juga banyak cewek yang kau sakiti---menangisi cinta palsu.
Sekarang, kau mengumbar derita cinta yang tak sampai di setiap statusmu.
"Grow up!" kataku suatu hari. "Jadilah Dermawan Cinta, yang membagi kebahagiaan dengan semua orang. Memotivasi hidupnya, menceriakan harinya, dan bahkan sekedar memberi tanda jempol pada status teman-teman untuk menunjukkan bahwa kita perduli. Jangan cengeng dan merajuk. Itu akan membuatmu terlihat sebagai Dermawan Kesedihan. Tidak berguna dan merugikan  banyak orang."