Minggu, 29 Oktober 2017

Hatiku Musuhku

Semalam adalah my bad day. Belum pernah aku ribut besar seperti kemarin, dengan suamiku. Aku cemburu, karena dia lebih mementingkan kakaknya di saat aku juga membutuhkan perhatian. Bukan hanya sekali aku memendam rasa sebalku, sehingga saat tak kuasa menahannya lagi, masalah itu pun membuatku meledak. Bagaimana tidak jengkel, kakaknya meminta diantar berbelanja sementara di rumah anaknya sakit. Sedang  butuh perhatian, tapi dia tega meninggalkannya.

Pagi ini, aku sengaja membiarkannya menyiapkan segala keperluan kantornya sendiri. Namun, makan pagi dan teh hangat sudah tersedia sejak dia belum terbangun.
Aku pura-pura kembali tidur, merajuk. Dia paham dengan sikapku, tapi membiarkannya. Bahkan kecupan hangat sebelum berangkat ke kantor, tidak dia lakukan. Sambil memejamkan mata, hatiku gondok sekali.

Setelah suara mobilnya berlalu, aku membuka mata. Lalu menangis sejadi-jadinya. Beruntung, anakku masih terlelap karena semalaman tak bisa tidur nyenyak. Dengan rasa tak karuan, iseng aku membuka FB di gawai putih milikku.
Sebuah permintaan pertemanan baru, muncul dari sebuah nama yang tidak asing, diingatanku ... Lucky.

Tiba-tiba dadaku berdesir, kenangan lama seperti terputar kembali di kotak memoriku Lucky adalah kakak kelas yang gigih mengejarku saat kuliah. Kami begitu akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Kebersamaan yang memunculkan perasaan cinta di hati kami. Di saat aku yakin, hatinya utuh hanya untukku. Tiba-tiba dia menjauh tanpa ada penjelasan.

Karena belum ada deklarasi atau pernyataan cinta yang resmi darinya, aku terlalu gengsi menanyakan alasan apa yang membuatnya menjauhiku. Sampai suatu hari, aku mendengar  dari teman seangkatannya, dia telah  bertunangan dengan teman angkatan yang sama, hanya saja dari fakultas yang berbeda. Seorang perempuan, yang kebetulan tetangga kampung denganku.

Sakit hatiku tak terkira, karena sebelum Lucky menjauh, perempuan itu mendekatiku. Tiba-tiba saja baik dan menganggap aku adiknya sendiri. Alasannya, sebagai tetangga dan kebetulan kami di satu kampus yang sama.
Kemana aku pergi, dia meminta ijin untuk mengikutiku. Sebenarnya hati ini curiga, tapi aku tepiskan saja. Siapalah saya, begitu pikirku waktu itu. Tak mungkin kakak itu memiliki niat jahat, karena dia lebih kaya dan pintar dibandingkan diriku. Ternyata, aku salah. Dia mendekatiku karena penasaran dengan perempuan pujaan hati Lucky. Dia dan Lucky telah bersahabat, jauh sebelum aku datang sebagai maba (mahasiswa baru).

Dan, terjawab sudah alasan sebenarnya setelah dia dan Lucky menjalin hubungan pertunangan. Dia ingin mengorek keterangan yang menjatuhkanku di depan Lucky, demi untuk mendapatkan hatinya. Dan dia berhasil menghasut lelaki yang kini sah menjadi miliknya itu. Pernikahan tanpa undangan untukku, dilaksanakan tiga bulan kemudian.

"Fay, aku Lucky. Masih ingatkah, padaku?"

Begitulah awal chat dia, di messengerku. Luka yang telah lama kering, kini kembali terbuka. Emosi pada suami, dan sakit hati padanya membuat berpikiran jahat. Ingin rasanya membalas dengan menggodanya terlebih dahulu, setelah itu akan aku campakkan persis seperti yang dilakukannya padaku, bertahun-tahun lalu.
Lalu, aku menulis chat balasan untuknya,

"Tentu saja, tak mungkin aku melupakan seorang yang pernah membuat hariku berbunga-bunga." (Emoticon cinta)

Tapi, aku tidak pernah mengirimkannya. Setelah anakku terbangun dan memanggil,

"Mama!"

Aku mengucapkan istighfar berkali-kali, lalu mengatakan pada diriku.

"Maafkan semua yang pernah menyakitimu, musuhmu bukanlah mereka. Tapi hatimu sendiri."

****** End ******

Sabtu, 28 Oktober 2017

Syair Untuk Puteri

Oleh: Nucita

Berilmu bagaikan padi
Menunduk saat berisi
Mengajar hanya tuk mengabdi
Bagi negeri dan ibu pertiwi

Wahai sang puteri sejati
Sejarahmu kini abadi
Tentang upayamu mendobrak tradisi
Harumlah namamu, Kartini ....

Rabu, 18 Oktober 2017

Tips Agar Rajin Menulis di Blog

Sudah sering terjadi, memiliki blog pribadi rencana untuk ini dan itu. Tapi pada kenyataannya, blog yang sudah dibuat susah payah kosong melompong.
Berbagai alasan dikemukakan tapi satu muaranya, malas.

Saya ada tips menulis agar tidak malas mengisi blog dengan tulisan.

1. Tanyakan apa motivasimu membuat blog, jika hanya sekedar coba-coba lebih baik berhenti membaca tips ini sekarang. Percuma.
Jika memiliki satu motivasi, kalian bisa tambahkan sebanyak-banyaknya. Agar saat motivasi pertama gugur, masih banyak motivasi yang bisa kalian gunakan untuk menulis. Tere Liye mengatakan, dia memiliki 99 motivasi dalam menulis agar saat satu gugur, dia masih ada 98 yang lain. Gunakan ini untuk mendorongmu menulis di blog kamu.(Tere Liye, Jumpa Penulis 15 Oktober 2017)

2. Jika motivasi sudah kamu miliki, mantapkan niatmu untuk menulis di blog. Niatkan menulis sebagai ibadah, yaitu menyebarkan manfaat bagi orang lain dan blog adalah salah satu sarananya agar orang lain secara luas bisa membacanya. Jadi tulisanmu dapat menjadi amal jariyah yang akan menolongmu di akherat kelak.

3. Tulislah apa yang menjadi minat kamu, agar bisa rutin menulis tanpa kesulitan. Jika suka berbagi resep dan fotografi isilah dengan hal itu, atau jalan-jalan. Tulislah pengalaman traveling kamu di situ. Bahkan kalau menyukai semua, tidak masalah untuk membuat blog kanu semacam gado-gado. Seiring berjalannya waktu, saat sudah bisa konsisten dan tulisanmu banyak, kamu bisa membuat beberapa blog dan mengklasifikasikannya sesuai dengan kategori tulisanmu.

4. Sering melakukan blog walking dan tinggalkan komen juga link tulisanmu agar mendapat banyak kunjungan, terutama dapat teman. Karena semakin banyak kamu berinteraksi dan mendapat kunjungan, kamu akan semakin bersemangat menulis di blog kamu.

5. Jangan kamu mati sebelum menulis, meskipun hanya satu tulisan, karena dengan menulis kamu sudah menorehkan sejarah, minimal dalam hidupmu. Memberikan kenangan dan warisan bagi anak cucumu kelak. (Helvy Tiana Rosa, Jumpa Penulis 15 Oktober 2017)

Itu dulu tips dari saya. Selamat mencoba dan mulailah menebar manfaat bagi sesama.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Selamat menulis!

Jumat, 13 Oktober 2017

Keluarga Baruku

Awalnya, aku mengikuti postingan beberapa teman yang kebetulan mampir di beranda fesbukku. Aku hanya bisa membatin, kok enak ya ada sekelompok penulis yang saling dukung untuk bisa terus menulis. Saling komen dan juga kritik. Sungguh teman yang aku butuhkan, karena selama ini, hobi menulis yang iseng aku tuangkan di status fesbuk dikomen bagus, cakep, dan keren. Padahal, feelingku mengatakan tulisanku biasa saja. Hahaha

Lalu, aku beranikan diri untuk mulai berinteraksi dengan mereka yang memiliki panggilan lucu, menurutku yaitu "Nyonyah ketjeh". Ada yang tanggapannya biasa, tapi ada yang langsung hangat dan ramah. Tulisannya semakin lama pun semakin menarik. Terlebih lagi, aku memang penyuka fiksi, jadi aku rajin menunggu tulisannya.

Hingga ada pengumuman untuk mengikuti challenge yang sama, yaitu 30 days writing challenge. Tanpa pikir panjang, aku inbox-lah sesenyonyah itu, dan mulailah babak baru dalam hidupku (tsah ... macam mau nikah saja, ya! Hahaha)
Aku mengikuti serangkaian acara yang diselenggarakan. Berusaha mematuhi semua aturan yang berlaku dan mengunyah materi pelan-pelan dan sebisa mungkin menetapkan pada tulisan demi tulisan berikutnya.

Hingga akhirnya, challenge pun berakhir. Jujur, aku tidak yakin akan menang. Karena setiap GA yang dilaksanakan, aku tidak menang. Tulisanku tidak ada yang mengkritisi, kecuali dari beberapa peserta sendiri. Hingga aku meminta untuk dikritik, mereka baru memberikan sedikit kritik. Aku pun berasumsi, tulisanku tidak sesuai kriteria juri.
Tapi, takdir berkata lain (eeeaaa ... macam judul sinetron). Aku diletakkan di deretan pemenang favorit yang aku ketahui sejarahnya setelah berada di grup WnA. Aih!

Aku yang cenderung suka wait and see dulu, saat masuk ke lingkungan baru mengamati mereka yang aku anggap senior. Dan setelah agak lama, mulai ikut membaur dengan mereka karena ternyata di sana warganya seru.
Apalagi, sesenyonyah yang lapaknya sering aku komen begitu menyenangkan. Aku merasa kerasan dan nyaman.

Berbagai masalah, dibicarakan. Mulai dari yang ringan, berat, tersimpan rapi berupa rahasia, sampai masalah umum. Dari obrolan tak bermutu, remeh temeh sampai obrolan tingkat nasional. Ilmu a sampai z berseliweran tergantung mau nangkap yang mana saking cepatnya lewat. Otakku yang alot pun harus mengunyah lama untuk mempraktekkan. Sehingga latihan untuk taat DL sering lewat tanpa ampun.

Cinta ... aku merasakan cinta dan kasih sayang bagai keluarga di sini, Invinity Lovink dengan rumah WnA (writer and author). Bagaikan sebuah rumah besar dengan orang-orang yang kompleks isinya. Berbagai pemikiran, sifat, watak, karakter, ketulusan, kepandaian, dan lain-lain. Meskipun tak pernah sekali pun bertemu, kurasakan ada ikatan di hatiku. Hingga sesuatu hal, mematahkan hatiku cukup dalam. Sekuat tenaga ku yakinkan, ini hanya mimpi. Kami keluarga, hal seperti ini sudah biasa. Semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali seperti semula dsb. Hingga pada tingkat pemikiran: ini sudah takdir. Berkaryalah kembali, untuk move on dari kenyataan pahit di dalam keluargaku ini.

Bagiku, Infinity Lovink dengan WnA juga The Fighter (bentukan baru) adalah keluargaku. Di sana ada persaudaraan dan kenangan. Bertemu mereka semua adalah rezeki bagiku.
Menjaga ukhuwah atau menjalin sisterhood dengan mereka, memberikan banyak arti.
Semoga, keluarga hatiku ini bisa lebih menginspirasi di luar sana. Menghubungkan sesenyonyah serupa remahan rengginang macam saya dan menginspirasinya, menjadikan dunia lebay menjadi lebih berarti dan berguna untuk keluarganya dan bagi orang lain di sekitarnya.

Love you Infinity Lovink.
Keep inspiring and connecting women!

=========

Selasa, 03 Oktober 2017

Sekeping Rindu Untukmu

By. Nucita

Menanti di batas kesabaran
Menunggu janji yang kesekian
Kuharap, hari ini adalah akhiran
Cintaku mulai lelah, tuk bertahan

Sekeping rindu untukmu, tuan
Kini masih dalam genggaman
Terpaksa akan kulepaskan
Tuk akhiri perihnya penantian

Duhai sang pujaan ....
Mengapa cinta tak seindah impian
Ku tak butuh janji tak berkesudahan
Berikan saja, satu kepastian

Batas waktu menuju penghabisan
Ku melangkahkan kaki ke depan
Menuju satu pintu harapan
Meninggalkan semua kebodohan

Mojokerto, 3 Oktober 2017

Minggu, 01 Oktober 2017

Kado Pernikahan

Setiap orang yang bertemu Lisya, pasti akan mengatakan jika dia adalah orang yang paling beruntung. Sebagai seorang anak yatim dengan kondisi yang memprihatinkan, bisa dipersunting anak orang kaya seperti Dimas.
Tidak ada yang tahu, pergolakan batin seorang Lisya berada di lingkungan keluarga suaminya.

Percintaan yang mereka lalui dulu, tidak mudah. Namun, mereka berhasil menikah setelah Dimas pergi dari rumah. Ibunya tak kuasa menolak keinginan anaknya. Sehingga terpaksa mengabulkan permintaan anak kesayangannya itu. Dimas adalah anak lelaki satu-satunya yang ia harapkan dapat meneruskan perusahaan milik ayahnya. Ibunya ingin, anaknya itu mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya kelak.

Satu tahun berlalu, Lisya dan Dimas masih belum dikaruniakan anak. Ibu mertua yang sedari awal membenci menantunya, seperti mendapatkan bahan untuk selalu menyiksa batin Lisya dan mengompori Dimas agar bersedia menceraikan istrinya. Apa pun yang dilakukan menantunya itu, selalu salah di depan sang mertua. Meskipun Lisya sudah berhati-hati dalam bersikap dan mencoba semua yang terbaik, agar dapat mengambil hati mertuanya.

"Maafkan mama dan aku ya, Lisy."

Hanya kata-kata Dimas itulah yang menguatkan dirinya. Dimas merasa bersalah tapi bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa, sehingga hanya bisa merangkul dan meminta maaf kepada istrinya. Cintanya tulus, tapi sulut bagi Dimas jika harus menyakiti mamanya, walau demi istrinya. Restu pernikahan yang diinginkannya dulu, tidak ia dapatkan dari hati yang tulus seorang ibu.

"Mas Dimas, maafkan aku. Bukan aku tidak bersyukur dapat semua fasilitas mewah di sini. Tapi, batinku tersiksa tak terhingga. Jika kamu berkenan, aku ingin kita menyewa rumah. Biar kecil asal kita bisa mengatur rumah tangga sendiri. Bagaimana, menurutmu?" tanya Lisya di satu kesempatan, saat mereka hanya berduaan.

"Aku sebenarnya juga memiliki pemikiran yang sama denganmu, Lisy. Bahkan sudah mengambil KPR, type rumahnya sih kecil. Tapi aku ingin kita hidup mandiri, mungkin ini jalan terbaik yang bisa aku ambil, untuk.saat ini." 

Tidak disangka-sangka, ternyata Dimas juga memiliki pemikiran yang sama untuk hidup mandiri.
Lisya pun menangis haru, merangkul dan menciumi suami tercinta.

"Aku tahu, aku tidak salah memilihmu," bisik Lisya di telinga Dimas. 

Mereka lalu meluapkan emosi suka cita dengan bergumul mesra. Melupakan sejenak, semua masalah yang akan mereka hadapi saat berhadapan dengan orang tua Dimas, terutama dengan ibunya. 

Dua bulan berlalu, Lisya mengalami tanda-tanda kehamilan. Bersamaan dengan diterimanya ijin mengajukan KPR dari Bank. Dua berita gembira, yang merupakan kado ulang tahun pernikahan setelah dua tahun pernikahan.

===Tamat===

Sabtu, 30 September 2017

Dodol Pengantin Baru

Sebagai pengantin baru, Raiso dan Amis sedang berbunga-bunga. Malam pertama terlewati sudah.

Pagi menjelang, Raiso terlihat gelisah. Menbongkar tas kosmetik sampai tas koper yang belum sempat ditata di dalam lemari. Kamar terlihat berantakan bagai diserang badai.
Amis yang baru terbangun dari tidurnya terkejut.

"Ayang! Kamu, kenapa?"

"KesoFt ... KesoFt-ku hilang. Itu barang berharga milikku, Mis. Tanpanya, aku tak bisa menghadapi dunia," kata Raiso sambil menangis, ia putus asa.

"Sepenting itu, ya? Memangnya KesoFt itu apa, sih?" Amis mendekati Raiso dan memeluknya dengan mesra.

"KeSoFt adalah produk sabun kefir 100% alami, tidak mengandung Hydroquinon, Mercury, atau bahan kimia. Aku tak sanggup hidup tanpanya."
Raiso sesenggukan, membayangkan wajah cantiknya menjadi kasar, kusam, dan penuh jerawat. Sebagai artis terkenal, ia tak sanggup menghadapi para penggemarnya.

Pagi yang seharusnya penuh kegembiraan, menjadi sedikit mendung karena kegalauan yang dialami perempuan cantik berkulit putih bersih itu.
Amis pun, tak sanggup membujuknya, meskipun dia menjanjikan akan mrmbelikan banyak produk kecantikan untuk kulit. Terlihat sekali, istrinya yang memang terlihat mulus, bercahaya, dan penuh pesona itu, hasil nyata dari sabun KesoFt yang telah lama merawat kulitnya.

"Amiiis!!!" jerit Raiso dari balik dapur, membuat suaminya yang baru bercukur terlonjak kaget. Kumisnya terpotong tak beraturan, beruntung tidak mengenai kulitnya.

"Ada, apa sayang?" Terburu-buru ia berlari menemui istri tercinta, takut terjadi apa-apa.

"Ini ... ini ... !" Raiso menunjuk-nunjuk ke dalam lemari es dengan mata melotot, "ini kan, KesoFt aku. Kenapa kamu masukkan freezer?"

"Aku pikir ini camilan, Yang. Maafkan aku, ya!" jawab Amis dengan rasa bersalah. "Habis, bentuknya persis dodol jumbo, itu kan kesukaan aku. Kupikir kamu sengaja membelikannya untukku."

"Kamu yang dodol, keluar kamar mandi gak pakai handuk dan cemong. Untung kita belum punya pembantu." Raiso tidak jadi marah, tapi tersipu-sipu malu melihat suaminya keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benang dan mulut belepotan sabun cukur.

=== tamat ===

Minggu, 24 September 2017

Berkah dan Musibah

"Ramdan!" Mak Sum terpekik kaget, melihat kepulangan anaknya yang tak biasa.

Kaki kurus Ramdan terlihat berdebu, sandal jepit butut yang biasa ia pakai tinggal sebelah, ditenteng dengan tangan kirinya.Sedang tangan kanannya menjilati es krim yang biasa ada di iklan televisi. Tapi bukan itu yang membuat perempuan itu terkejut.
Kepala anak semata wayangnya itu terlihat ada bekas darah dan sepertinya asal telah dibersihkan lalu ditutup plester ala kadarnya.

Anak berusia delapan tahun itu pulang diantar Pak Marjo, pedagang kue di pasar. Mak Sum biasa menitipkan kue padanya. Lalu ada seorang perempuan gemuk dengan rambut dicat merah, dandanan wajah yang menor melengkapi penampilannya, ia berjalan di belakang anaknya. Tangan perempuan itu penuh perhiasan emas, berkilauan ditimpa cahaya matahari.
Dan kedatangan mereka yang ganjil, membuat beberapa tetangga ikut berdatangan ke rumahnya yang sempit.

Dua jam yang lalu, ia meninggalkan Ramdan di pasar. Ada pesanan kue mendadak dari pelanggan, anaknya itu tidak mau ikut pulang. Ia biasa berada di pasar, terkadang membantu mengangkat barang-barang dari orang-orang yang berbelanja di sana. Dengan cara itu, ia mendapatkan sedikit upah. Uangnya dia tabung, anak kecil itu tidak pernah merepotkan Mak Sum. Jika menginginkan sesuatu, ia selalu berusaha mengumpulkan sendiri uang. Meski emaknya melarang ia bekerja sebagai kuli angkat, tapi anak berperawakan kecil kurus itu tidak peduli. Sampai akhirnya, emaknya pasrah dengan kemauan keras dari anaknya itu.

Para pedagang sekitar lapak Pak Marjo, sudah hapal dengan ibu dan anak ini. Mereka terkenal jujur dan kue buatannya juga enak. Sesekali, ada pesanan kue datang dari pelanggan Pak Marjo yang diberikan pada Mak Sum. Seperti hari ini, pesanan mendadak yang diberikan, langsung diterimanya. Kebetulan semua bahan masih tersedia di rumah. 

Mata Mak Sum terpaku melihat kondisi anaknya, yang dengan cueknya masuk rumah dan duduk di dipan tua yang terletak di pojok rumah. Masih asyik menjilati es krimnya.
Ya, rumah petak yang disewanya memang hanya terdapat satu ruangan saja. Jadi, dipan yang terbuat dari bambu itu ia gunakan untuk tempat duduk bagi tamu sekaligus tempat tidur jika malam tiba.

"Assalamu'alaikum ...." Pak Marjo menyapa Mak Sum.

"Eh ... wa'alaikumsalam. Maaf, silakan masuk," jawabnya sambil tergopoh-gopoh mempersilakan tamunya masuk. "Ada apa ini, ya? Kenapa anak saya babak belur begini, Pak?"  ia bertanya dengan suara bergetar menahan tangis.
Rasanya seluruh badannya ikut sakit menyaksikan tubuh kecil anaknya.

"Maaf, Mak. Kita ke sini mau meluruskan masalah si Ramdan sama Ibu ini." Pak Marjo menunjuk perempuan gemuk yang berdiri terdiam di sampingnya, menundukkan kepala dan terlihat salah tingkah.

Mereka,  berdiri saja di depan perempuan yang masih kebingungan itu. Maklum, dipan yang ada hanya cukup untuk dirinya, Ramdan dan satu tetangga yang ikut merangsek masuk saat kedua tamunya datang.
Yang lainnya berdiri sambil berbisik-bisik ingin tahu apa yang terjadi pada Ramdan dan si Ibu tadi.

Lalu Pak Marjo menceritakan kronologi pemukulan Ramdan. Peristiwa berawal dari ibu gemuk yang ternyata bernama Suzanti itu berbelanja. Setelah selesai belanja, ia mampir ke lapak Pak Marjo untuk membeli beberapa kue. Saat mau membayar, dompetnya raib. Naas, di dekatnya hanya ada Ramdan yang sedari tadi mengikutinya. Anak kecil itu berharap, bisa membawakan tas belanja perempuan itu.
Dengan kalap, Suzanti menuduh Ramdan telah menyopet dompetnya. Meski anak malang itu berkata tidak, perempuan yang panik itu terus memukuli membabi buta dan menuduhnya maling.

"Saya langsung melerai, Mak. Begitu juga orang-orang sekitar. Kami diam sejenak karena kaget.Tapi begitu sadar, kami langsung melerai dan menjelaskan ke ibu ini.
Kalau Ramdan anak baik dan jujur. Setelah tenang, ibu ini baru ingat. Kalau dompetnya dia taruh di kantong belanjanya, bukan tas besar yang ditentengnya," jelas Pak Marjo. Sementara, ibu berpenampilan bak artis panggung di acara-acara hajatan itu terlihat meneteskan air mata. Mungkin, ketakutannya sudah memuncak. Apalagi para tetangga yang ikut menyimak, mulai bersahutan untuk komentar.
Ada yang gemas dan menyarankan untuk membawa masalah ini ke polisi, akan tetapi  ada juga yang menyarankan untuk berdamai saja. Lama kelamaan, ruangan sempit itu menjadi penuh sesak dan ramai oleh tetangga yang ingin tahu.

"Maafkan saya, Bu. Saya khilaf dan telah salah sangka pada anak Ibu. Jangan bawa masalah ini ke polisi ya, Bu. Saya mohon ... ini ada sedikit uang, untuk berobat. Tolong saya, Bu." Wajah bulatnya basah, berlinang air mata.
Lalu ia mengeluarkan sepuluh lembaran uang berwarna biru. Meletakkannya di meja kecil, yang terletak di sebelah dipan tempat Mak Sum duduk.

"Tenang ... tenang ...! Kita di sini, bukan untuk mencari ribut. Tapi untuk.mendapatkan solusi. Kalian jangan memperkeruh masalah!" Pak Marjo berkata tegas dan keras di hadapan para tetangga yang ribut, lalu pandangannya kembali beralih ke Mak Sum.

"Sudahlah, Mak. Masalah ini lebih baik tidak usah sampai ke polisi. Akan panjang urusannya. Emak juga nanti, yang repot."
Pak Marjo menyarankan Mak Sum untuk menerima saja upaya damai dari Ibu Suzanti.

Mak Sum mengangguk pasrah. Ia hanya orang kecil, tidak tahu apa-apa, mungkin lebih baik mengikuti saja, apa yang disarankan Pak Marjo. Upaya damai akhirnya diambil.dan perdamaian itu diakhiri dengan bersalam-salaman dan berpelukan antara mak Sum dan Suzanti. Kemudian, dengan para tetangga yang telah menjadi saksi. Lalu mereka bubar satu persatu.

"Yang sabar, Mak. Anggap ini berkah Ramadhan, bukan musibah."

"Cepat periksa ke puskesmas, Mak. Siapa tahu kepala Ramdan ada sakit yang serius."

"Wes, Mak. Mungkin memang ini jalannya rezekimu. Harus melalui seperti ini dulu."

Dan banyak ucapan lain dari tetangga yang bersimpati padanya, sebelum mereka pamit pulang. Danmeninggalkan Mak Sum juga Ramdan menenangkan diri.

Kini, tinggal mereka berdua. Mak Sum menangis lagi, saat melihat sekujur tubuh anaknya. Lalu ia menggendong tubuh kecil Ramdan ke kamar mandi yang terletak di luar rumah. Ia memandikan dan membersihkan tubuh anaknya itu, dengan penuh kasih sayang.

"Mak, maafkan Ramdan. Tadi batal puasanya. Kata Pakde Marjo kalau sakit boleh batal. Terus Ramdan dibelikan es krim. Batal deh, puasanya."

Mak Sum hanya mengangguk dan tersenyum. Hatinya masih perih, merasa gagal melindungi anak semata wayangnya. Rasa sesal masih terasa di dada, karena telah meninggalkannya tadi.

Tapi, mungkin benar. Ini adalah jalannya rezeki dari Allah untuk anakku. Berkah di bulan Ramadhan. Biar bisa beli baju dan sendal baru.

Tidak lama kemudian, adzan magrib berkumandang.

"Alhamdulillah ...." diteguknya segelas air dari kendi di meja.
Karena hanya air yang ia punya untuk berbuka. Tanpa kurma, es cincau, es kelapa muda, atau pun kolak.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar pintu diketuk kasar. Mak Sum membukakan pintu segera. Tanpa salam, Telasih masuk. Tetangga sebelah rumahnya, ia istri dari preman kampung. Suaminya baru saja kena tangkap sewaktu ada razia preman.

"Utang uang dua ratus, Mak," katanya tanpa basa basi. Enteng, seperti saat seseorang meminta segelas air putih.

"Seratus aja ya, Sih. Gak usah utang, tak kasih. Ikhlas aku," ujar Mak Sum sambil mengambil uang yang masih tergeletak di meja. Mata Telasih mendelik melihat lembaran uang itu.

"Halah Mak, jangan pelit! Dapat rezeki itu dibagi, biar barokah. Seminggu lagi tak kembalikan. Wong dua ratus ribu saja, kok!" Sambil matanya tak lepas dari uang yang ada ditangan Mak Sum.

"Kalau mau, uang seratus ribu ini, ambil. Atau gak usah sama sekali. Aku gak mau kasih hutang sama kamu!" seru Mak Sum dengan nada tinggi.
Bukan tanpa alasan ia bersikap tegas pada perempuan tak tahu sopan itu. Sudah menjadi bahan pembicaraan tetangga, jika ia mudah sekali berhutang, tapi tiba-tiba pikun saat tiba waktunya membayar.

Telasih menyambar uang seratus ribu dari tangan Mak Sum, lalu berlalu pergi. Tanpa pamit atau mengucap terimakasih. Mak Sum mengurut dada. Mungkin hidupnya memang lebih beruntung dari Telasih. Untuk itu, ia berusaha tidak mempermasalahkan sikapnya.

"Alhamdulillah Ya Allah, telah kau cukupkan rezekiku hari ini. Kau yang memberi dan Kau pula yang mengambilnya. Terimakasih atas berkah yang Kau berikan pada hambamu ini."
Doa Mak Sum seusai menunaikan shalat magrib bersama Ramdan anaknya.

**** Tamat ****

*tulisan ini sudah pernah diikutkan challenge dan merupakan tema kedua dari 30 days challenge PT 3 yang diadakan oleh Infinity Lovink. Sebuah grup di FB

Sabtu, 23 September 2017

Menyambut Ramadan

Masjid Al-Akbar terlihat penuh sesak oleh jama'ah yang tengah khusyuk mendengarkan ceramah ustaz Farid. Pengajian yang diselenggarakan dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadan.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Ustaz mengutip ayat Al-Baqarah 183, untuk menerangkan wajibnya puasa bulan Ramadan yang akan datang, sebentar lagi.

"Jadi Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak, yang dirahmati Allah. Sudahkah mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci Ramadan? Apa saja yang seharusnya disiapkan?" Ustaz mulai menerangkan tentang persiapan yang harus dilakukan seorang mukmin, jika menghadapi bulan Ramadan.

Sementara itu, di antara jama'ah pengajian perempuan, Mimin yang sedari awal ceramah dimulai telah mengantuk. Tiba-tiba berpikir dan mulai melamun. Ibu satu anak itu berpikir.

Iya, mau puasa nih. Belum mempersiapkan apa-apa nih. Mana harga barang-barang sudah mulai naik.

Dibukanya gawai layar sentuh miliknya, ia ingat teman pesbuk yang kemarin menawarkan sembako. Konon katanya, mau naik harga dua kali lipat.

Semoga belum habis terjual. Biar dah, uang belanja bulan ini habis. Mumpung ada promo.

Segera, tangannya sibuk memencet sejumlah nama di kontak WA. Mencari teman yang dimaksud.

Mimin: JENG, PROMO YANG KEMARIN MASIH? AKU MAU DONG, DUA PAKET SEMBAKONYA. YANG BELI SERBET MAKAN SELUSIN BISA TEBUS MINYAK GORENG SEHARGA 22.900 ITU LHO.

Teman Mimin: OH, YANG KEMARIN DAH LANGSUNG ABIS CYIN. ADA PROMO BARU LAGI, BELI 2 CENTONG NASI CANTIK, BISA TEBUS MURAH GULA SEHARGA 11.700. HARGA NORMAL 13RB/KG LHO. DAN MAU NAIK LAGI JADI 15RB. MAU TAH, MUMPUNG MASIH ADA DUA PAKET NIH.

Mimin galau sejenak. Kalau gak diambil, ntar nyesel. Diambil, centong nasi di rumah masih bagus.

Ah, tapi kan bisa untuk simpanan. Mumpung promo ini.

Akhirnya, dia pun mengambil paketan itu. Dan tanpa terasa, ibu muda itu membeli juga beberapa barang yang ditawarkan selanjutnya.

Beberapa hari kemudian, semua barang pesanan datang. Dan sejumlah uang pun berpindah tangan. Mimin termenung, gundah gulana di depan barang-barang pesanannya yang menumpuk di atas meja makan. Di sebelahnya tergeletak dompet warna pink kusam dengan resleting menganga. Habis sudah uang belanja jatah sebulan.

"Bulan puasa belum datang, kamu sudah beli gula, minyak, tepung, kacang ijo, agar-agar, makanan kaleng, sirup, baju-baju, sandal, sarung. Ini lagi, segala centong nasi, sendok garpu plastik, garukan punggung, gelas, piring. Semua sudah ada, dan belum digunakan. Kenapa beli lagi?" Suaminya marah-marah sambil ngomel-ngomel melihat tumpukan barang yang dipesan istrinya.

"Puasa, seharusnya pengeluaran bisa lebih irit, Mah. Ceramah kemarin, Ustaz bilangnya begitu. Bukan malah membengkak, Mah. Ini malah, puasa juga belum. Sudah kalap belanja. Terus, hari ini kita mau makan apa? Uang papah cukup buat bensin, nih!"

"Yaaa ... terpaksa, kita makan seadanya ini aja. Agar-agar sama sarden, Pah. Soalnya Mamah lupa, beras kita sudah habis. Maaf ya, Pah. Mamah telah khilaf." Mimin menjawabnya dengan kalem.

"Apa?!" Suaminya langsung garuk-garuk tembok karena kesal.

===Tamat===

*tulisan ini pernah diikutkan 30 days challenge, yang diselenggarakan infinity lovink di laman FB.

Senin, 08 Mei 2017

Dongeng: Pangeran Kodok

Pada suatu hari. Di sebuah kerajaan yang megah. Terdapatlah seorang putri raja yang manja. Apa pun keinginannya, harus dituruti. Jika tidak, ia akan mogok makan, mogok mandi, tapi tidak mogok makan, karena ia tidak mau kelaparan. Apalagi kalau digoda aneka masakan berbahan dasar jengkol, mana tahan dia.

Putri jenuh bermain di Istana. Dia memutuskan untuk pergi ke taman istana yang luas. Taman itu indah sekali, aneka macam bunga ditanam di sana. Di tengah taman terdapat kolam yang hampir menyerupai danau buatan, karena cukup luas dan agak dalam. Di sekitarnya ada beberapa pohon besar  rindang yang rantingnya menjuntai di atas kolam.

Putri memutuskan untuk duduk di bawah salah satu pohon yang terdapat tempat duduknya, karena tidak semua pohon dipasang tempat duduk yang terbuat dari semen dibentuk bulat, menyerupai potongan batang pohon.
Matanya kosong memandang lurus ke depan, melamun. Hidupnya serba mudah, tapi membosankan. Apa pun keinginannya selalu disediakan, tapi tidak pernah membuatnya puas. Ada sesuatu yang kosong di dalam hatinya. Kedua orangtuanya sibuk dengan kegiatan istana. Sedari kecil, ia diasuh oleh dayang-dayang istana. Berganti-ganti, karena tidak tahan dengan sikap manjanya. Ia berbuat begitu demi ingin diperhatikan oleh kedua Raja dan Ratu, namun semua usahanya tidak membuahkan hasil. Mereka lebih memilih mengikuti semua yang dia mau, daripada menunda pekerjaan sebentar saja. Acara makan mereka bertemu, tapi dilarang makan sambil bicara.

Ia memainkan bola emas yang selalu dibawanya. Tak pernah sekali pun ia berpisah dengan bola itu. Ukurannya yang hanya sebesar bola bekel membuatnya mudah untuk dibawa ke mana-mana.
Tanpa sadar, bola melambung terlalu tinggi lalu jatuh ke bawah memental beberapa kali sebelum masuk ke dalam kolam yang gelap.
Putri yang tidak berhasil menangkap bola kesayangannya, menangis di pinggir kolam.
Tak berapa lama, seekor kodok mendekat.
"Kamu kenapa menangis?" Ia bertanya.
"Bola emas kesayanganku jatuh ke kolam itu." Putri terisak sambil menunjuk ke dalam kolam.
"Aku bisa menolongmu, tapi ada syaratnya."
"Benarkah? Aku tidak peduli, apa pun syaratnya aku pasti penuhi." Mata Putri berbinar-binar, ia tidak berpikir panjang. Yang penting, bola kesayangannya kembali.
"Baik, kau tunggulah di sini."
Lalu kodok itu menyelam masuk ke dalam kolam.
Beberapa saat lamanya, putri sudah terlihat gelisah menunggunya.
Kodok melompat keluar dari kolam dengan membawa bola itu di mulutnya.
"Syukurlah." Putri mengambil bola dari mulut kodok lalu pergi kembali ke istana, tanpa mengucapkan terimakasih. Ia juga tak menghiraukan kodok yang melongo.

Malam harinya, saat makan malam berlangsung, kodok datang menuntut janji. Kedua orangtuanya mendengarkan dan marah pada anaknya. Karena wibawanya dipertaruhkan. Sebagai keluarga kerajaan, harus menepati janji-janji yang telah diucapkan.
Akhirnya dengan berat hati, putri bertanya pada sang kodok.
"Baiklah, apa maumu?"
"Aku mau makan dan minum dari piring dan gelasmu. Aku juga mau tidur di tempat tidurmu."
"Apa! Aku tidak sudi!" Putri berteriak marah.
"Janji adalah janji. Untuk itu, sebelum berjanji seharusnya kau berpikir dulu." Tegas sang raja.
Putri tidak kuasa, lalu dengan berat hati mengabulkan keinginan sang kodok.

Saat akan tidur di tempat tidurnya, sang kodok mengajukan permintaan terakhirnya.
"Sebelum tidur, aku mau kau menciumku terlebih dahulu."
Sang Putri naik pitam, diambilnya kodok kurang ajar itu. Dan melemparnya keras-keras ke tembok kamar.

SPLASH!

JDERRR!

Tiba-tiba ada asap tebal keluar dari tubuh kodok yang terlempar, lalu berubah menjadi pangeran yang tampan sekali.
Putri manja itu melongo, lalu disekitar tubuhnya ada asap berputar-putar seperti melilit tubuhnya. Sesaat kemudian, ia berubah jadi kodok.
"Oh, Putri yang sombong lagi manja. Seandainya kau mau mengabulkan keinginanku. Kau pasti kujadikan istriku. Tapi karena mengingkari janji, kini kaulah yang terkena kutukan."
"Tidaaakkk! Kembalikan wujudku. Kau pasti berbohong." Putri Kodok menangis dan panik.
Kedua orangtuanya tak kuasa menghadapi kenyataan. Mereka kompak mati mendadak, serangan jantung kata tabib istana.

Putri yang merasa malu, pergi keluar istana. Hilang ditelan kegelapan malam.
Pangeran hidup berbahagia, mendapatkan istana lengkap beserta isinya secara gratis.

### Tamat ###

*dongeng ini endingnya dibuat berbeda dari dongeng aslinya. Bisa dikatakan ini fiksi penggemar atau bukan, terserah anda bagaimana menilainya...hehehe

*Fiksi penggemar (lebih dikenal dengan sebutan Fanfiction, FF, atau Fanfic) merupakan suatu sebutan yang dikenal luar untuk karya-karya yang dibuat penggemar yang berhubungan dengan cerita tentang para tokoh (atau tokoh fiksi), atau latar yang dibuat oleh penggemar dari sebuah karya asli, alih-alih sang pembuat karya tersebut. Penulisan karya fiksi penggemar jarang diberi kuasa oleh pemilik karya asli, pembuat, atau penerbit; tulisan-tulisan itu juga hampir tidak pernah dipublikasikan secara profesional.

Minggu, 07 Mei 2017

Marina (3)

"Namaku Faro, dari kaum Mer. Bukan putri duyung, separuh manusia dan ikan, seperti pemikiran kalian orang-orang udara. Lucu sekali menggambarkan kaum kami seperti itu."
Dia berkata dengan tatapan meledek, seolah-olah, manusia yang hidup di udara tidak tahu apa-apa.
Marina melengos, kesal.

"Coba kulepaskan tanganmu, menyelamlah sendiri. Kini kau dan laut adalah satu." Faro melepaskan pegangannya, tapi Marina ganti memegang pergelangan tangannya.
"Jangan! Aku takut tenggelam."
"Tidak akan, percayalah. Asal jangan berpikir untuk bernapas atau memikirkan udara. Kau akan baik-baik saja. Cobalah!"
Pelan-pelan dilepaskan tangannya. Ia kini menyelam sendiri.
Tangannya ia tangkupkan lalu ia rentangkan. Marina tertawa gembira, ia merasa jiwanya bebas.

"Sekarang, ikut aku. Akan kutunjukkan tempat yang paling indah di sini."
Lalu ia melesat cepat, Marina tak mau ketinggalan. Dia mengikuti secepat yang ia mampu. Jika tertinggal agak jauh, Faro akan menunggunya dengan sabar.
Mereka menyusuri laut, melewati segerombolan ikan-ikan kecil dan biota laut lain. Sesekali Faro berhenti seperti menyapa mereka. Tapi Marina sama sekali tidak mengerti bahasa mereka.

Kemudian sampailah ia di tempat yang sangat luas, penuh karang beraneka warna. Pasirnya terlihat putih bersih. Ikan-ikan dan makhluk laut yang ada lebih beragam dan bermacam warna. Pemandangan yang sangat indah. Faro terus mengajaknya berkeliling.
Lalu ada tirai cahaya dari atas ke bawah. Marina mendongak ke atas, terlihat ada lapisan cahaya di sana.
"Itu permukaan air laut yang ditimpa cahaya matahari." Jelas Faro.
"Oh ya? Apakah sekarang sudah pagi?" Marina tersentak, ia merasa baru beberapa menit menikmati keindahan alam bawah laut.
"Kenapa? Justru bagus, kamu akan aku ajak melihat kapal karam. Tempatnya agak jauh, tapi selama kau ada di dekatku. Semua pasti aman."
Ia mengedipkan sebelah matanya, menggoda Marina.
"Dulu, banyak orang yang tenggelam sepertimu, kaum Mer banyak yang menolong agar mereka pasrah. Tapi kalian yang dari udara, sulit sekali mendengarkan kami. Mungkin memang tidak ingin meninggalkan udara. Akhirnya, banyak yang mati tenggelam. Sudahlah! Ayo, kita berangkat sekarang." Dengan sekali mengibaskan ekornya, Faro meluncur lurus ke depan.

Tapi Marina bergeming di tempatnya. Entah kenapa, tiba-tiba Ia teringat akan  suaminya, juga anak-anak. Sekelebat bayangan-bayangan mereka datang silih berganti, saat suaminya mengucapkan cintanya, " I love You, Ma. Smoga kita selalu bersama, ya ...."
Lalu saat ia mengajari anak pertamanya berjalan juga berbicara.
"Ayo sayang, ucapkan Maaama."
"Maaa ... Maaa."
Tawanya berderai melihat anak pertamanya.

"Pinter anak Mama, selangkah lagi yuk!"

Berganti bayangan si bungsu yang minta digendong. Sesaat kemudian, badannya kembali terasa sesak. Diimpit air dari segala arah.

Di waktu yang sama, Faro yang tidak merasakan kehadiran Marina, menoleh. Dilihatnya perempuan itu tersiksa dan kesakitan karena telah mengingat daratan. Secepatnya, ia berbalik arah. Mengguncang-guncang tubuh Marina.

"Hentikan! Hentikan! Lupakan udara, lupakan! Kau bisa mati."
Ia panik. Lalu ditariknya Marina ke atas permukaan menuju udara. Tidak dipedulikannya lagi, ia akan tersiksa sesaat sebelum berada di udara.
Hampir sampai di atas, Faro merasakan dadanya sakit luar biasa. Udara menyakitinya, walau hanya sesaat sebelum akhirnya ia benar-benar berada di permukaan laut. Ditepuk-tepuknya pipi Marina yang hampir tak sadarkan diri.
"Jangan tidur. Kumohon ... tetaplah terjaga."

Antara sadar dan tidak, Marina mendengar suara-suara. Awalnya tidak terlalu jelas, tetapi lambat laun ia bisa mendengarnya.
Faro. Ia berusaha keras menolong Marina. Akhirnya, ia sepenuhnya sadar dan terbatuk-batuk mengeluarkan air laut yang terminum. Masih dirasakannya sakit yang tak terhingga di sekujur tubuhnya.

Ia menoleh menatap wajah penolongnya. Baru tersadar, jika wajah itu mirip sekali dengan Bara. Hanya saja ia memiliki warna mata yang coklat sedangkan Bara memiliki warna mata yang hitam. Kulit yang dimilikinya pun coklat bagai terbakar sinar matahari. Berbeda dengan suaminya yang jarang terkena sinar matahari langsung.

"Terimakasih." Kata Marina lemah.
"Kau bodoh!" Ia membuang muka. "Sudah kubilang, lupakan udara. Kau akan memiliki kehidupan yang lebih baik di sini." Wajahnya terlihat kecewa.
"Aku tidak bisa, Faro. Aku telah.memiliki suami dan anak-anak. Mereka pasti menungguku pulang." Dengan kedua tangannya, Marina memalingkan wajah laki-laki dari kaum Mer itu, agar melihat wajahnya.
"Aku tidak mungkin selamanya di sini. Tempatku bukan di sini. Aku bahkan tidak tahu, mengapa aku sampai di sini."
Faro menundukkan kepalanya, tidak berani menatap langsung mata Marina.

"Apa kau tidak mengingatnya, Marina. Dulu, sewaktu kau masih kecil telah menolongku dari jeratan jala nelayan. Setelah itu, Aku selalu menantimu dan memanggil-manggil namamu. Tapi kau tak pernah hadir. Hingga saat itu. Kau datang memenuhi panggilanku."

Faro menceritakan semua kejadian lampau. Marina mendengarkan tanpa membantah.
Dia memang telah lupa sama sekali tentang hal itu.
Yang diingatnya saat kecil dulu, Ayahnya pernah bercerita. Ia di bawa ke rumah orang pintar atau dukun sepulang berlibur dari pantai. Karena selalu menceracau tidak jelas. Ayah menganggapnya kesurupan hantu laut.

"Sekarang, aku orang yang berbeda Faro. Lagi pula, kita tidak mungkin bersatu. Aku tidak mau tinggal di laut dan kau pun tak mungkin tinggal bersamaku di darat. Tolong bawa aku kembali, Faro. Kumohon!"

Mata Faro terlihat satu kesedihan yang disembunyikan, tapi ia menyetujui permohonan Marina. Ia tidak ingin memaksa perempuan yang diam-diam mengambil hatinya saat itu. Ia tak ingin melihat perempuan cantik itu mati, jika ia memaksa tinggal dan hidup dengannya.

"Baiklah. Tapi, berjanjilah untuk mengikuti perintahku. Sebelum air laut masuk ke tubuhmu, kau harus pasrah dan melupakan bernapas. Melupakan udara untuk sejenak. Aku akan membawamu mendekat ke pantai. Tapi aku tidak mungkin membawamu jauh ke pantai. Kau harus berenang sendiri. Kaummu tak akan menyukai kehadiranku. Mereka akan menangkap dan membunuhku."

Marina mengangguk. Dan menyelam ke dalam laut, setelah pasrah pada laut yang menelannya. Melupakan udara dan tentang bernapas. Membiarkan air laut masuk ke tubuhnya dan menyatu bersamanya. Faro memegang pergelangan tangannya, membawanya menyelam kembali ke arah pantai.

Di tempat yang sepi, di antara batuan karang yang besar. Faro mengajak Marina naik ke permukaan. Saat itu, malam telah datang kembali. Karena waktu di laut dan daratan memiliki perbedaan. Waktu di laut lebih lambat dibandingkan di darat.

Ia melepaskan Marina dengan berat hati.
Dengan sabar ia bersembunyi, menunggu sampai perempuan itu berenang dengan aman kembali ke pantai.

Marina berenang sekuat tenaga ke pantai. Hatinya diliputi rasa rindu sekaligus penyesalan. Karena telah meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Tanpa sadar, ia berenang sambil menitikkan air mata.
Tak pernah ada dalam bayangannya, mengalami hal serupa ini. Faro, laut dan dirinya yang menyatu, pemandangan bawah laut, dan semua cerita Faro tentang masa kecil dan perasaannya.

Di tepian pantai, Marina berdiri. Sesaat sebelum pergi, ia melambaikan tangan ke arah jajaran batu karang. Meskipun yang terlihat hanyalah gundukan hitam di bawah temaram sinar bulan. Ia yakin, Faro masih di sana memandangnya. Menunggunya dan mungkin memanggil-manggil namanya.
Sedang ia harus pergi, menjauh dari pantai dan laut selamanya.

#### Tamat ####

Sabtu, 06 Mei 2017

Marina (2)

Marinaaa ....

Marinaaa ....

Perempuan itu semakin mendekat ke bibir pantai. Setelah ombak menyentuh kakinya, ia merasa ombak berputar-putar di sekitar kakinya. Dan ada magnet yang kuat menarik tubuhnya untuk semakin masuk ke laut.
Sekuat kesadaran yang ia miliki untuk berusaha menolak. Kekuatan itu seperti semakin kuat membelit tubuhnya.
Dan suara itu ... Ia tidak kuasa untuk menghentikan ketertarikannya.

Akhirnya, air laut semakin jauh menyeretnya.
Setelah sepenuhnya tenggelam, Marina seperti tersadar dari hipnotis.
Terlambat, ia sudah semakin ke tengah laut. Gelagapan, tangan Marina menggapai-gapai ke atas. Ia berusaha untuk tidak tenggelam dan berenang. Tapi, seperti ada arus kuat yang menyeretnya masuk ke dalam dan menenggelamkannya.
Marina berteriak-teriak meminta tolong, sebelum akhirnya kelelahan lalu tenggelam.

Di sisi lain, saat ia baru separuh tenggelam tadi. Beberapa nelayan ada yang memergoki tindakannya. Mereka berteriak-teriak mencoba memperingatkan Marina untuk kembali ke  pantai. Tapi jarak yang cukup jauh membuat suara mereka tidak cukup terdengar. Apalagi, perempuan itu seperti orang yang tersihir oleh lautan.
Akhirnya mereka panik saat melihat Marina terseret ombak.
Mereka langsung berteriak-teriak ke penjuru pantai, mencoba mencari bantuan dan mencari keluarganya.

Sementara itu, Suami dan anak-anak Marina yang ada di penginapan mulai cemas, saat istri dan mamanya pergi dan sanpai magrib belum juga kembali.
Lalu mereka memutuskan keluar, mencari keberadaan Marina. Sesaat kemudian, terjadi kehebohan di pantai. Ada kabar, seorang perempuan bunuh diri dengan menyeburkan diri ke laut.

Hati Bara, suami Marina pun terasa tidak enak, hatinya sesak, dan Ia mulai panik. Maka dicarinya berita tentang perempuan itu. Bagaimana ciri-cirinya.
Ketakutan menjalari seluruh tubuhnya, akan menjadi penyesalan yang tak terkira jika perempuan itu adalah Istrinya.

Lalu, dia memanggil-manggil orang yang sangat ia cintai itu. Sementara, anak-anaknya menangis ketakutan dan ikut memanggil-manggil mamanya. Mereka, merasakan kepanikan Ayahnya.

"Marinaaa ... Marina di mana, kamu!"

"Mamaaa! Mamaaa!"

Disepanjang jalan yang mereka lalui, dipanggil-panggilnya nama Marina. Dan tak lupa menanyakan kepada siapa saja,  orang yang ditemuinya.
Hingga akhirnya Bara pasrah setelah pagi hampir menjelang. Dia melaporkan istrinya yang hilang. Agar  mendapatkan bantuan dari polisi dan tim SAR. Meskipun baru bisa dilakukan keesokan harinya.

Jauh di tengah laut, Marina merasakan sakit sekali. Dada dan tubuhnya terasa sesak dan panas. Seperti dihimpit batu besar. Atau seperti diremas-remas sampai hampir gepeng. Sepertinya, air laut sudah banyak yang masuk ke tubuhnya, ia kini hampir pingsan.
Terlihat bayangan wajah Mas Bara, suaminya yang memandang penuh cinta. Memerhatikannya saat ia sakit, memasak, juga menyuapinya.
Lalu berganti bayangan anak-anak yang memanggil-manggil namanya, ingin dimanja dan diperhatikan.
Senyum polos mereka.
Marina merasa, inilah saatnya ia akan mati. Matanya masih terpejam, sejak tenggelam tadi.
Kini ia siap jika akhirnya ajalnya sampai di sini.
"Maafkan aku, Mas Bara. Maafkan mama, anak-anakku sayang."
Saat-saat terakhir, seperti ada suara disamping telinganya, suara yang sama dengan yang memanggilnya tadi.

"Lupakan udara, lupakan semua tentang udara.
Marina! Jangan mengingat bernapas. Lepaskan, pasrah ... pasrah!"
Marina berusaha membuka matanya, samar ia melihat sosok di sampingnya. Kali ini, makhluk itu memegang pergelangan tangannya.
"Pasrah, aku bilang!" Suara itu terdengar membentak dan memaksa untuk menaatinya. Dan ia pun akhirnya menurutinya, pasrah.
Lalu keanehan terjadi. Tubuhnya tiba-tiba berangsur membaik. Rasa sakit, panas, dan sesak di dada juga seluruh tubuhnya lenyap. Bahkan air laut seperti masuk secara keseluruhan tubuhnya.
Ia merasakan tubuhnya menjadi dingin dan ringan. Serasa tak percaya, Marina menoleh ke sosok penolongnya. Yang masih memegang tangannya.

"Siapa, kamu?" Ia seperti tersadar, sosok itu separuh manusia dan separuhnya seperti baju selam. Akan tetapi menyatu dan ujungnya bagaikan ekor. Tepatnya, seperti ekor anjing laut.

"Hahaha. Syukurlah kamu masih hidup, kau sulit sekali diajak berkomunikasi. Dasar makhluk udara." Ia tertawa, tapi Marina tidak melihat mulutnya terbuka. Sangat mengherankan, tapi ia bisa berbicara dan mendengar dengan jelas.
Seperti layaknya berbicara di udara.

"Kamu berpikir kalau aku makhluk aneh?  Kamulah yang aneh. Tubuhmu terbelah begitu," sambungnya sambil melihat kaki Marina.

"Apa lagi ini, kau pikir aku putri duyung? Heiii! Aku laki-laki, masak kau sebut aku, putri. Pemikiran makhluk udara selalu aneh begitu." Makhluk itu terdengar tertawa lagi.

Terkejut, Marina mendelik. Ia merasa tidak enak hati karena makhluk itu bisa membaca pikirannya. Lagi pula, kenapa dia selalu tertawa.

"Kalau begitu, pasti ini mimpi," Marina bergumam sambil mencubit pipinya.

#### bersambung ####

Jumat, 05 Mei 2017

Marina

Seorang perempuan bertelanjang kaki berlari di pinggir pantai berpasir putih. Matanya terlihat sembab, bekas menangis. Tapi ia tidak peduli.
Pandangan orang yang masih terlihat bermain di pantai pun tidak dihiraukannya.
Setelah dirasa cukup jauh dari rumah penginapan yang terletak di ujung pantai, ia terduduk di pasir yang lembut.
Tangisnya pecah lagi, ia kesal sekali dengan suaminya.

Jauh-jauh datang berlibur, berharap dapat rekreasi bersama. Bergembira dan seru-seruan dengan suami dan anak-anak. Tapi semua diluar dugaannya.
Suaminya tetap saja bekerja, serius di depan laptopnya. Sesekali gawainya berdering dan mengobrol lama dengan teman kantornya. Urusan kantor, katanya.
Anak-anak yang ribut bercanda dan terkadang bertengkar. Sesekali mendapat teguran keras dari suaminya. Apalagi saat menelpon.

"Jangan rame-rame! Ayah ada kerjaan, nih. Bisa diam sebentar, gak!"

Anak-anak terdiam sejenak, lalu berulah lagi.
Mendengar suaminya uring-uringan, Marina tidak tahan lagi. Ini liburan, dan semua sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Dan suami yang super sibuk itu pun telah berjanji, meluangkan waktu untuk dia juga anak-anak. Berlibur bersama tanpa ada urusan kantor yang dibawa.

"Mas, anak-anak sedang liburan. Bukan salah mereka jika sedikit ribut. Kamulah yang seharusnya mengalah. Bermainlah bersama mereka!" Marina menegur suaminya dengan suara pelan dan agak ditekan, ia tidak ingin terlihat ribut di depan anak-anak. Ia tidak ingin merusak suasana liburan mereka.

"Hmm ... baiklah!" Suaminya cuek, menjawab dengan mata tetap tertuju pada laptopnya.

"Kamu kan sudah janji, untuk liburan. Tapi kenapa masih membawa pekerjaanmu, sih? Bermainlah bersama kami, atau kita jalan-jalan saja di pantai." Marina mulai merasa kesal dengan sikap suaminya. Ia merasa diabaikan.

"Iya, sebentar lagi. Nanggung, nih! Kau tahu sendiri, Bos tadi sudah menanyakannya," jawab lelaki yang sudah menikahinya 7 tahun itu, tanpa menoleh sedikit pun.

Emosi Marina memuncak. Perempuan itu marah sekali. Bukan satu dua kali ini terjadi. Dan ia selalu mencoba mengungkapkan semua perasaannya.
Mengurai masalah yang timbul, dengan membuka komunikasi. Tapi sepertinya, semua sia-sia. Karena kejadian selalu berulang lagi.
Untuk membuang rasa marah dan kesal, ia menghambur keluar penginapan. Berlari dan berlari, berharap angin membawa pergi semua beban di hatinya.

Kini saat terduduk lelah, kakinya mulai terasa perih. Beberapa goresan terlihat di kakinya yang mulus. Mungkin tergores pecahan kerang atau karang-karang yang terserak di sekitaran pantai.
Tapi perihnya tidak lebih perih dari hatinya yang diliputi kecewa.
Lalu sayup terdengar seperti ada suara memanggilnya.

Marinaaa ....
Marinaaa ....

Suara itu seperti berasal dari arah laut. Perempuan itu terdiam, menghentikan tangisnya. Mencoba mempertajam pendengarannya. Mungkin ia salah dengar.
Tidak mungkin ada yang memanggilnya.
Hanya ada suara deburan ombak dan angin yang berembus. Pohon-pohon kelapa terlihat sedikit bergoyang, mungkin suara gesekan daun, batinnya.
Diedarkannya pandangan, pantai terlihat sepi. Hanya ada satu atau dua nelayan juga pedagang yang bersiap pulang. Mereka terlihat sibuk sendiri, tidak mungkin panggilan itu datang dari mereka. Pengunjung pantai sudah tidak terlihat, pasti sudah pulang sebelum senja datang.

Marina berdiri, sebentar lagi gelap.
Diusap air matanya dengan ujung lengannya. Meski masih terlihat sembab, ia tidak peduli.
Hatinya sudah sedikit tenang, setelah berlari dan menangis tadi. Diputuskannya untuk kembali ke penginapan. Walau sedikit enggan bertemu dengan suaminya, tapi ia tidak tega meninggalkan anak-anaknya sendirian. Tidak dipedulikan oleh ayahnya yang gila kerja.

Baru beberapa langkah ia berjalan. Suara itu terdengar lagi, sekarang lebih jelas. Memanggil namanya.

Marinaaa ....
Marinaaa ....

Kali ini, menggodanya untuk mendatangi suara itu.
Ia menoleh ke arah laut, seperti ada sesuatu yang menariknya. Tarikan yang sangat kuat untuk mendatangi suara tersebut.

#### Bersambung ####

Rabu, 03 Mei 2017

Nilai Mahar

Pengajian rutin ibu-ibu PKK Kampung Bunga kali ini, dipenuhi jamaah. Mungkin karena ada penceramah tersohor yang diundang oleh tuan rumah. Pemilik hajat adalah seorang dermawan kaya di Kampung Bunga. Acara pengajian diselenggarakan bertepatan dengan peringatan Isra mikraj.
Pinkan datang terlambat, karena masih harus menyusui anaknya sebelum berangkat. Ia bergegas mencari kursi kosong yang masih tersedia. Dan ternyata hanya  tersisa beberapa kursi di deret belakang.

"Permisi ... permisiii ...." Ibu beranak dua itu melewati beberapa orang yang telah duduk terlebih dulu di pinggir deretan paling belakang. Kemudian, ia duduk di sebelah para ibu muda lain yang terlihat modis, mereka mengenakan gamis dan hijab yang serasi. Cantik-cantik dan berbau harum. Pinkan, diam-diam mendengarkan mereka berceloteh. Bukan tidak kenal atau pun minder pada mereka karena keteknya cuma bau bedak bayi milik anaknya. Tapi karena lebih asyik mendengarkan mereka ngobrol daripada ikut bergabung. Iseng saja, sambil menunggu acara yang belum juga dimulai.
Semua jamaah pun melakukan hal yang sama. Ada yang berdiam diri, ada yang memainkan ponsel, dan ada yang mengobrol satu dengan yang lain. Penceramahnya terlambat satu jam dari yang dijadwalkan. Begitu pengumuman dari panitia acara kepada jamaah yang hadir.

"Eh, dulu waktu kamu nikah. Maharnya apa sih?" Salah satu dari mereka bertanya kepada teman-teman di sebelahnya. Setelah berganti-ganti topik pembicaraan.
"Aku sih, cuma seperangkat perhiasan." Sahut ibu muda yang berhijab merah dengan bros besar di pundaknya. Yang mendengarnya pun menbelalakkan mata dan berdecak kagum.
"Kalau aku, uang yang besarnya sesuai dengan tanggal pernikahan. Biar selalu ingat tanggal pernikahan kami, gitu." Sahut yang lain, lalu ditimpali pertanyaan lanjutan. Mulai dari yang bertanya berapa, kenapa, dan sebagainya.
"Waaah, pada matre ya. Kalau aku, cuma minta seperangkat alat sholat saja." Celetuk seorang yang berdandan paling lengkap dan lebih tebal diantara mereka. Usianya menjadi terlihat lebih tua dari yang lain. Walau umur mereka tidak terpaut jauh.

Mendadak, suasana menjadi senyap sejenak. Mungkin mereka tersinggung atau cuma terkejut dengan perkataan ibu muda yang mukanya sedikit judes dengan bibirnya berbentuk kerucut.
"Bukan apa-apa ya, menurut pak ustaz nih, wanita yang baik tuh yang paling ringan maharnya." Sambungnya bangga. Seolah-olah dialah yang paling baik dan benar di antara teman-temannya. Padahal, ia itu karena tidak mampu.

Pembicaraan menjadi tidak senyaman tadi. Lalu, mereka seperti orang-orang yang salah tingkah. Memaksakan diri berbasa basi untuk mencairkan suasana. Tapi suasana sudah tidak sama lagi.
Pinkan meneguk air kemasan di dalam gelas, jatah dari panitia acara. Entah mengapa, mereka yang ngobrol tak henti-henti tapi ia yang merasa haus.

Akhirnya, acara dimulai juga. Meski sudah terlambat satu jam dari satu jam yang diperkirakan panitia. Semua terlihat lega.
Tapi baru sebentar ceramah dimulai, anak sulung Pinkan datang mengabarkan kalau adik bayinya rewel. Terbangun dan minta nenen.
Terpaksa, ia pamit untuk pulang terlebih dulu pada sekumpulan ibu-ibu yang kini terlihat kaku. Kecantikannya turun satu strip karena masing-masing bibirnya monyong satu senti.

Ada yang terlihat masih sibuk berbisik-bisik, menggunjing ibu muda berbibir kerucut. Leluasa karena tempat duduknya terpisah dua kursi. Masih tidak terima dikatakan matre,  mereka bergosip. Karena tahu, yang mengejek mereka sering memaksa suaminya untuk memberi nafkah yang lebih dari kemampuan suaminya. Hanya untuk membeli barang kebutuhan yang persis sama dengan tetangganya, meski ia tidak membutuhkannya.

Sambil menggandeng anaknya pulang, perempuan sederhana itu merenungkan peristiwa tadi.
Seandainya, mahar yang diminta hanya seperangkat alat sholat, tapi calonnya pada saat itu seorang yang miskin. Apakah hal itu tidak memberatkan, ya? Sementara, yang meminta mahar seperangkat perhiasan emas atau sejumlah uang kepada calonnya yang kebetulan saudagar kaya atau orang mampu. Apakah itu disebut memberatkan laki-laki calon suaminya?

Malam semakin larut, suara penceramah masih terdengar sampai ke rumah warga sekitar rumah Pak Haji Sobrun.
Sesampainya di rumah, dilihatnya bayi mungil berusia 14 bulan itu telah tertidur dalam dekapan suami tercinta yang juga terlelap. Teringat mahar yang dipinta darinya. Hafalan satu surat al-quran, tapi saat itu suaminya keberatan. Lalu mahar pun diganti dengan uang satu juta rupiah.
Dan ternyata, justru hal itu lebih meringankan calon suaminya.
Lalu dengan mahar itu, Pinkan sedekahkan kembali pada suaminya, buat tambahan ongkos mengontrak rumah. Berusaha memulai hidup baru tanpa merepotkan orangtua.

Dengan penuh kasih, dipindahkannya bayinya di tempat yang lebih nyaman. Menidurkan anak sulungnya dan menyelimuti suami tercinta.
"Selamat malam sayang, semoga Allah selalu melindungi keluarga kecil kita," bisiknya.

#### Tamat ####

Cinta Seorang Lelaki Tua

Pagi ini, baru saja Atin datang ke salon, tempatnya bekerja selama setahun terakhir. Alis, teman sekerjanya memberitakan kalau ada seorang bapak-bapak mencarinya.

"Pelanggan baru ya, Mbak? Tadi tak tawarin, biar aku aja yang layanin. Tapi gak mau. Dia bilang, mau sama Mbak Atin aja." Kata perempuan bergincu merah darah itu, sambil merapikan meja tunggu khusus pelanggan.

Atin diam, hatinya gelisah. Lelaki itu, beberapa hari ini selalu menguntit kemana pun dia pergi. Lelaki itu, hampir sepantaran ayahnya. Memerhatikannya dari jauh, dibalik sedan putih miliknya. Perempuan muda itu, mengambil sikap tak peduli. Asal lelaki itu tidak macam-macam padanya.

Meski sebenarnya ia merasa jengah, tapi sulit menghindarinya. Tidak mungkin ia bersembunyi. Selain bekerja di salon, ia juga harus mencari nasabah sepulang kerja. Bahkan terkadang, diam-diam pelanggan salon pun diprospeknya. Demi anak semata wayang yang ditinggalkan ayahnya begitu saja. Tidak mungkin selamanya, menumpang terus di rumah Ayahnya. Ia sudah lanjut usia, apalagi Ibu juga sudah tiada. Seharusnya Ayah sudah tinggal menikmati hari tua. Tidak dibebani mengurus anak cucunya. Kewajibannya sebagai anaklah yang harus mengurus Ayahnya. Ia lelaki yang sangat sabar dan pendiam. Atin merasa beruntung menjadi anaknya.

Sekarang, lelaki itu sudah mulai terang-terangan memperlihatkan diri. Mencoba menemuinya.

"Selamat siang. Mbak Atin, ya?" Lelaki itu kembali mendatangi salon tempat ia bekerja.
Lalu ia meminta dicuci dan dipotong rambutnya. Atin pura-pura tidak tahu, jika ia telah tahu lelaki itu menguntitnya selama ini.

Lelaki itu banyak bertanya, meski perempuan berambut ikal sebahu itu menjawab pendek-pendek. Enggan menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya.

Selesai merapikan peralatan salon, lelaki itu membayar lebih dari ongkos yang diminta. Atin sudah menolaknya, tapi lelaki setengah baya itu memaksa.
Ia bilang, itu adalah tips untuknya. Dan ia juga memperkenalkan diri, namanya Suparjo.

Setelah hari itu, hampir dua minggu sekali Parjo datang ke salon. Merapikan rambut, kumis, atau hanya sekedar main.
Ingin rasanya, Atin mengusirnya. Tapi ia takut, akan dipecat majikannya. Karena tidak ramah pada pelanggan.

Tanpa terasa, enam bulan telah berlalu. Parjo tidak lagi muncul di salon.
Atin dan Alis heran. Mereka bertanya-tanya, kemana gerangan tuan royal tips itu. Meski sebal, Atin akhirnya bisa menerima keberadaan lelaki itu.
Sekotak paket dan sepucuk surat datang. Diantar seorang kurir berwajah bulat dan ramah. Suratnya berwarna merah muda bergambar bunga mawar merah yang berbau harum. Dibuka dan dibacanya surat itu.

Dear Atin,
kamu laksana bunga mawar. Indah namun berduri. Tapi itu pertanda, kamu perempuan baik dan tangguh. Duri itu adalah senjatamu, menghalau godaan pria iseng. Teruslah seperti itu, sayang. Kini aku tidak ragu jika harus meninggalkanmu untuk selamanya.

Maafkan Aku yang selama ini tidak berterusterang padamu. Dan baru berani menemuimu setelah memastikan bahwa kau memang anakku. Ibumu dan aku, terlibat cinta rahasia. Itu sebuah kesalahan yang tidak termaafkan. Beruntung, Ayahmu tidak tahu tentang hal ini (jangan kutuk kami untuk masalah ini)
Kini, aku mohon maafkanlah kami berdua. Aku dan Ibumu sudah menerima hukuman batin selama ini. Karena cinta kami tak pernah bisa bersatu dan harus memendam rindu.

Saat kau menerima surat ini, artinya aku sudah mati. Sakit yang menggerogoti tubuhku tak bisa kutahan lagi.
Terimalah sedikit peninggalan dariku. Perhiasan yang sengaja kukumpulkan untuk kuberikan padamu. Gunakan untuk hidup yang lebih baik. Berhentilah dari salon itu. Pemiliknya sungguh pelit.

Dari
Suparjo
Ayah yang tak pernah kau miliki

Atin tertegun. Tidak tahu harus sedih atau gembira. Marah atau kasihan. Perasaannya tak keruan. Lemas dan akhirnya pingsan.

#### Tamat ####

Selasa, 02 Mei 2017

Mengambil Hati Fira

Bangku kelas berserakan sepeninggal anak-anak kelas lX pulang. Hanya ada beberapa anak piket yang bertugas merapikan dan membersihkan kelas.
Fira sedang menyapu, ketika Pak Hamzah memanggilnya.
"Fira! Sini, Bapak mau bicara." Tangannya melambai pada Fira.
Gadis itu mendatanginya dengan enggan. Jika teman-temannya tak ada, ia pasti berani menolak panggilan dari lelaki itu.
"Ada apa?" Suara ketus dan pelan keluar dari mulutnya.
"Nanti, aku ke rumahmu. Mamamu meminta tolong untuk memberikan les tambahan. Jadi, jangan ada alasan untuk menghindar." Laki-laki itu juga berbicara pelan, tapi tegas.
"Kenapa sih, Bapak mempermainkan perasaanku. Kalau Bapak tidak menerima cintaku, ya sudah. Jangan mendekati aku lagi!" Kali ini, Fira bersuara agak keras. Pak Hamzah kelimpungan, takut anak didiknya yang lain mendengar.
"Sssttt ... jangan keras-keras, Fira. Nanti kamu sendiri yang malu. Oke, kami selesaikan dulu tugas piket kamu. Bapak tunggu di depan, aku akan mengantarmu pulang." Lalu lelaki itu berlalu. Meninggalkan Fira yang matanya mulai berkaca-kaca. Tapi secepatnya, ia susut air matanya, agar teman yang lain tidak curiga.

Akhir semester kelas VIII lalu, ia mulai dekat dengan guru matematikanya itu. Awalnya ia meminta tolong diajari salah satu rumus matematika yang masih belum dikuasainya. Lama-lama ia banyak bercerita dan dekat dengan beliau. Pak Hamzah orangnya ramah dan enak diajak bicara. Mungkin karena masih muda, sehingga bisa masuk dalam pembicaraan yang dibahas. Walau sebenarnya, beliau juga baik dengan teman-teman yang lain. Tapi Fira merasakan hal yang berbeda.
Ia merasa sangat cocok dan ingin selalu dekat dengannya. Mungkin, ia merindukan sosok lelaki dewasa. Karena kehilangan Ayah saat ia masih berusia 10 tahun.

Kini, setelah hampir setahun dekat dengan Pak Hamzah, Fira mengungkapkan isi hatinya. Tapi guru yang dicintainya itu menolaknya, hatinya hancur. Rasa sakit dan malu menjadi satu. Semua penjelasan gurunya itu terdengar tidak masuk akal semua. Tertutup sudah telinganya untuk mendengar semua alasannya.
Setelah dua hari tidak masuk sekolah, kini ia harus menghadapinya lagi. Gara-gara Mama tidak mau memenuhi permintaannya. Ia ingin pergi jauh dari gurunya itu.

"Aku mau pindah sekolah." Pintanya pada Mama selesai makan malam.
"Tidak masuk akal! Kenapa? Kamu kan sudah kelas IX, sebentar lagi ujian, Fir." Mama meletakkan bukunya, "Ada apa? Kamu ada masalah?" Kini ia duduk disamping Fira dan mengusap lembut rambut anak semata wayangnya itu.
Lalu gadis yang baru mengenal cinta itu menceritakan semua tentang Pak Hamzah. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia 40-an itu, terkejut. Tapi buru-buru menyembunyikan keterkejutan itu dari anaknya.
Setelah menghela napas, ia mulai berbicara.

"Apa ini juga, alasanmu tidak mau masuk ke sekolah? Sakit perut hanya alasan yang Kau buat-buat, bukan?"
Fira mengangguk lalu menundukkan kepalanya. Ia tak kuasa menatap wajah perempuan yang berjuang sendiri, membiayai hidup dan sekolahnya.
"Sayang, Mama tidak marah atau melarang kamu jatuh cinta. Tapi, Kamu masih terlalu muda untuk memikirkan cinta. Perjalananmu masih sangat jauh. Apa menurutmu, kamu sanggup menikah di usia muda?"
Anak perempuannya mulai meneteskan air mata.
"Kan, tidak harus menikah Ma."
"Lalu, apa? Pacaran? Setelah itu, putus. Sakit hati juga. Lalu, apa yang kamu dapatkan? Buang waktu dan yang paling penting di sini, haram nak. Tidak boleh berpacaran."
Diusapnya air mata dari kedua pipi anak gadisnya itu.
"Coba lihat Mama! Kamu percaya Mama, kan?"
Fira mengangguk pelan.
"Sayang, jatuh cinta dan patah hati adalah hal yang wajar. Tapi jangan pernah membuat hal itu membuatmu melanggar aturan Allah, juga menghalangimu melakukan hal-hal yang penting. Mengabaikan masa mudamu. Menurutmu, penting mana Pak Gurumu itu atau Mama?"
Gadis belia itu merangkul mamanya.
"Tentu saja, Mama! I love you, Ma."
"Baiklah, kalau begitu. Besok kamu boleh bolos satu hari lagi. Tapi setelah itu, Kamu harus berjanji untuk bisa menghadapi masalahmu. Bukan dengan cara melarikan diri. Mama ingin kamu meraih cita-citamu dulu. Oke!"
"Key!" Fira melepaskan rangkulannya dan membaringkan tubuhnya. Mencoba menata hatinya, jika bertemu dengan lelaki itu.

******

"Assalamu'alaikum. Bagaimana? Apa dia sudah mau mengerti?" Tanya seorang lelaki di ponsel Dilla.
"Wa'alaikumsalam. Entahlah, tapi dia sudah tenang sekarang." Jawab perempuan itu dengan suara bimbang.
"Maafkan aku, aku hanya bermaksud mengambil hatinya. Agar ia bisa menerimaku jika aku mendekatimu. Aku ingin menikahimu, Dill. Tak kusangka ia malah jatuh cinta padaku. Lalu ... aku harus bagaimana, sekarang?" Hamzah, lelaki itu terdengar kalut dan gelisah.
"Beri aku kesempatan sekali lagi, aku akan mencoba berbicara lagi padanya. Bahwa ia sudah aku anggap seperti anakku sendiri."
Dilla terdiam sejenak, lalu ia mulai berkata, "Aku akan mencari alasan agar kau bisa dekat lagi dengannya. Cobalah memberinya les tambahan. Tapi jika ia menolak, aku tak kan memaksanya. Maaf!"
"Maksudmu? Kamu tidak mau menikah denganku?" Lelaki yang lebih muda sepuluh tahun dari Dilla itu terdengar putus asa.
"Iya, hanya itu syarat dariku. Mengambil hati Fira, bukan mencuri hatinya. Aku tidak mau bersaing cinta dengan anakku. Lebih baik aku hidup berdua saja dengan Fira sampai ia menikah. Assalamu'alaikum."

Tuuut ... Tuuut.

Suara ponsel ditutup, sebelum sempat Hamzah menjawab salamnya. Kini tergantung usahanya, mengambil hati gadis yang kini patah hatinya. Meluruskan semua persoalan yang kini menjadi rumit.
Dilla, perempuan yang merupakan mama dari Fira. Ia sosok yang cantik, matang, dan tegar. Hamzah bertemu pertama kali saat ia mendaftarkan Fira, tapi mereka dekat setelah tidak sengaja bertemu di sebuah Bank swasta.
Saat itu antrean panjang, Hamzah melihat Dilla berdiri. Tidak mendapatkan tempat duduk. Lalu ia merelakan tempat duduknya. Setelah itu, pembicaraan yang mengalir berlanjut via telepon. Tapi cinta Hamzah terganjal satu syarat, restu dari Fira. Anak peninggalan almarhum suami Dilla. Pendekatan yang dilakukan, mendapatkan respon yang jauh dari perkiraannya.

#### Tamat ####

Senin, 01 Mei 2017

Menuai Cinta

Setelah menikah, aku dan suami memutuskan untuk pindah dari rumah orangtua.
Menyewa sebuah rumah mungil dengan satu kamar tidur. Selain kami tidak membutuhkan terlalu banyak ruang juga sewanya murah. Sangat cocok untuk pasangan yang baru menikah dengan keuangan yang pas-pasan seperti kami.

Seminggu tinggal di kampung ini, kami baru mengenal pak RT dan tetangga sebelah kiri kami. Sepasang suami istri yang sudah tua. Mereka orangnya sangat ramah. Sebenarnya, alasan itu yang membuat kami mengenalnya. 

Setiap pagi, Sang Istri memandikan suaminya. Sakit darah tinggi membuatnya terkena stoke. Nenek yang sehari-hari menjual gorengan itu, tidak pernah terlihat keberatan merawatnya. Karena rumah kami berimpitan dan bagian halaman depan-belakangnya hanya dipisahkan pagar bambu, maka setiap hari kami bisa mendengar celotehan mesra dari keduanya. 

Terdengar lagu-lagu jaman dulu dinyanyikan oleh nenek itu. Lalu suaminya akan mengganggunya dengan mengacau lagu yang dinyanyikan istrinya. Tetapi tidak pernah membuatnya marah. 

Mungkin itulah cara mereka menjaga keutuhan rumah tangganya. 

Suatu hari, aku berkunjung ke rumahnya. Ada sedikit buah-buahan hasil kebun di desa tempat mertua tinggal. Aku berkesempatan mengobrol dengan keduanya.

"Kok kakek dan nenek bisa akur dan awet sampai sekarang. Bagi rahasianya dong ... Hehehe." Tanyaku pada akhirnya, setelah banyak hal kami bincangkan.

"Kuncinya cuma satu. Cinta. Tanamkan dalam setiap harimu dengan suamimu," Kakek berkata sambil tersenyum.

"Kakek dulu, meski bekerja sebagai buruh di pabrik. Dan tidak bisa memberi nenek yang lebih, tapi mempersembahkannya dengan cinta. Diniatkan untuk ibadah, menafkahi keluarga. Berdoa, semoga berkah. Karena kedua anak kami kebutuhannya banyak. Tapi nenek lebih hebat, lho. Cintanya sangat tulus dan dia istri yang pandai bersyukur. Tidak mengeluh jika kurang, tapi membantu mencari solusi bersama-sama. Beruntung kakek memilikinya. Apalagi, kini kakek tidak bisa bekerja dan hanya mengandalkan nenek untuk sekedar mencari makan. Tidak tega kami merepotkan anak-anak kami." Kali ini kakek berkata sambil memegang satu tangan istrinya dan menatap matanya dalam-dalam. 

Kemesraan yang membuatku tersentuh. Cinta mereka sederhana, tapi tak lekang oleh waktu. Diam-diam, aku mengambil pelajaran dari mereka. Belajar menjadi istri yang pandai bersyukur. Mencintai kelebihan dan kekurangan pasangan kita. Berharap, menuai hasil saat tua nanti. Tetap saling mencintai dan menjaga satu sama lain.


Minggu, 30 April 2017

Gadis Bernama Kantil

Malam semakin larut. Jaka mengencangkan laju kendaraannya. Menyesal, ia tadi pulang terlambat. Gara-gara si Bos minta pekerjaan selasai hari ini juga. Dan sialnya, karena kurang konsentrasi, justru pekerjaannya salah semua. Dan Bos, tidak mau tahu. Harus direvisi dan selesai sekarang juga. Karena besok pagi-pagi akan dibawa untuk presentasi di depan klien penting.

Pukul 11 malam, ia hampir sampai di desanya. Jarak tempat kerjanya ada di kota. Tapi hanya membutuhkan waktu setengah jam berkendara, jika jalanan sepi seperti ini.
Di depan, terlihat ada seorang gadis berjalan tergesa-gesa. Hatinya bimbang, selarut ini ada gadis berjalan sendiri ... hatinya menciut.
Jangan-jangan ... hiiiii.
Tiba-tiba ia merinding ketakutan.

Sebentar lagi ia akan melewatinya, lalu dilihatnya kaki gadis itu. Terlihat menapak dengan tanah. Bahkan terdengar langkah kakinya yang memakai sepatu pantofel berhak pendek.
Berarti ia manusia, alhamdulillah
Kasihan, harus berjalan malam-malam sendiri begini.

Saat melewatinya, ia sengaja memperlambat laju motornya. Siapa tahu gadis itu butuh bantuannya. Pemuda itu tidak berani menawarkan bantuan terlebih dahulu. Takut dikira lelaki iseng yang memanfaaatkan kesempatan.

Sekitar lima langkah kaki dewasa, baru terdengar suaranya memanggil.
"Mas! Mas! Tolong berhenti, dong!" Gadis itu memanggilnya.
Jaka segera menghentikan motornya dan menunggu ia mendekat.
"Ada apa, Mbak?" Ia basa basi bertanya, setelah gadis itu mendekat.
Dari dekat terlihat wajah gadis itu putus asa.
"Maaf,Mas. Mau tanya, njenengan mau pulang ke arah mana ya? Kalau tidak keberatan, saya mau merepotkan njenengan. Tolong antar saya ke Desa sebelah, ya. Tadi motor saya rusak, disuruh ninggal sama yang punya bengkel, Mas. Karena sudah larut. Itu saja, saya memaksa bapak yang punya bengkel untuk membukakan pintu rumahnya."
Bercerita ia hampir seperti tanpa bernapas dan berpikir terlebih dahulu. Cara bicaranya begitu cepat tetapi tepat dan lancar.
"Saya mau pulang ke Desa Krembangan sini aja, kok. Desa njenengan Surak, toh?" Jaka menjawab.
"Ya kalau mau, monggo saya antarkan."
Jaka mempersilakan gadis itu membonceng.
"Namaku Kantil. Anaknya Wak Tun yang punya warung lodeh itu, lho. Nama kamu siapa, Mas?"

Hmm ... agresif juga, anak ini. Belum ditanya, malah tanya duluan. Pikirku.

"Aku, Jaka. Baru saja pindah di Desa ini enam bulan yang lalu. Bapakku meninggal, lalu ibu terpaksa pulang ke desanya. Ada rumah kecil peninggalan nenek. Jadi aku belum terlalu tahu lingkungan sekitar desa. Namamu kok, Kantil? Bukan nama bunga yang lain, gitu. Hehehe." Jaka menggoda Kantil.
"Lha kalau namaku Mawar, nanti kami pikir aku penjual bakso borax, Mas."
Mereka lalu tertawa memecah kesunyian.

Lalu mengalirlah cerita di antara mereka.
Tanpa terasa telah sampai di rumah Kantil. Rumah semi permanen dengan halaman yang luas. Pohon-pohonan yang kurang terurus membuat rumahnya sedikit terlihat seram.
Ia mengucapkan terimakasih sebelum hilang dibalik pintu.

Jaka lalu pulang, gadis itu meninggalkan kesan yang mendalam di hatinya.

Esok, aku akan menghampirinya. Menawarkan bantuan untuk mengantarnya bekerja. Toh, motornya juga masih di bengkel.

Manusia berencana, Allah yang menentukan.
Keesokan harinya, Pemuda itu kembali ditelpon si Bos untuk datang pagi-pagi. Masih ada saja pekerjaannya yang dianggap kurang. Tergopoh-gopoh ia berangkat kerja. Bahkan sarapan pun ia tak sempat.

Seminggu berlalu. Jaka kembali bertemu Kantil. Tak sengaja berpapasan di depan makam kembar di Desa Krembangan. Waktu itu baru lewat waktu magrib. Kebetulan, ban motornya bocor terkena paku. Sehingga ia terlambat pulang. Beruntung, desanya sudah tidak jauh lagi.

"Hai, Kantil! Masih ingat aku? Aku Jaka! Kamu mau ke mana?"
Pemuda itu berhenti, menyapa Kantil yang berjalan kaki dan datang dari arah berlawanan.
Tapi gadis itu diam saja, dan menundukkan kepalanya.
Lalu saat dekat, bau bunga kenanga tercium samar seperti terbawa angin lalu.
"Mana paku aku, Massss ... " terdengar suara yang halus dan mengambang. Sayup-sayup seperti jauh sekali suara itu datang. Padahal mereka dekat sekali. Berpapasan, melewatinya. Gadis serupa Kantil tidak berhenti.
Jaka merinding, bulu kuduknya berdiri. Tak kuasa menyalakan motornya. Lalu di tempat. Sampai gadis itu menghilang entah ke mana.

#### Tamat ####

*mitos: jika kuntilanak dipaku ubun-ubunnya, maka ia akan menjadi manusia.

Sabtu, 29 April 2017

Lubang Di dalam Hati

Kubuka mata dan kulihat dunia
Tlah kuterima anugerah cintaNya

Tak pernah aku menyesali yang kupunya
Tapi kusadari ada lubang dalam hati

Kucari sesuatu yang mampu mengisi lubang ini
Kumenanti jawaban apa yang dikatakan oleh hati

Apakah itu kamu apakah itu dia
Selama ini kucari tanpa henti

Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang mampu melengkapi lubang di dalam hati

Kumengira hanya dialah obatnya
Tapi kusadari bukan itu yang kucari

Ku teruskan perjalanan panjang yang begitu melelahkan
Dan kuyakin kau tak ingin aku berhenti

Apakah itu kamu apakah itu dia
Selama ini kucari tanpa henti

Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang mampu melengkapi lubang di dalam hati

Apakah itu kamu apakah itu dia
Selama ini kucari tanpa henti
Apakah itu cinta apakah itu cita
Yang kan mengisi lubang di dalam hati

***********

Sudah setengah jam, aku menuntun motor bututku. Belum juga ada bengkel yang terlihat. Kuputuskan berhenti sejenak di pinggir jalan. Terik mentari membuat peluhku bercucuran.
Banyak pandangan mata yang iba saat melihatku mendorong motor tadi. Tapi sepertinya mereka juga tidak bisa memberikan solusi. Jika ada, hanya sekedar memberi info bengkel terdekat.

Tapi terdekat itu berapa kilo lagi? Keluhku.

Untung saja, aku baru pulang belanja dari mini market dan membeli minuman dingin. Sedianya untuk keponakan.
Tapi biarin deh, aku minum saja.

Glek ... glek ... glek.
Beberapa teguk minuman rasa jeruk, menghilangkan rasa dahagaku.
Kuputuskan istirahat lima menit lagi, sebelum mendorong kembali, motorku.

"Permisi, motornya mogok ya? Saya perhatikan dari sana tadi, kok didorong. Bisa, saya bantu?"
Seorang pemuda datang menghampiri. Ia datang dari arah warung makan seberang jalan.

Ya Allah ... gantengnya, batinku.
"Iya, Mas. Dari tadi nyari bengkel belum ketemu," jawabku.
Pemuda itu berperawakan sedang tapi memiliki mata yang indah. Mirip mata milik aktor India idolaku.

"Sudah dicek, bensinnya? Atau, businya mungkin?" Ia lalu menawarkan diri untuk melihat kondisi motorku. Tanpa takut kotor, ia mulai memeriksa kondisi motorku. Dan benar, ternyata busi motorku kotor. Segera ia membersihkan dengan kertas amplas dan memasangkan kembali.
Malunya ... padahal aku sering diingatkan bapak, untuk sering-sering servis motor. Karena itu motor butut. Tapi aku selalu saja lupa. Untung Allah mengirimkan penyelamat ganteng.

"Sudah selesai, Mbak. Coba mesinnya dinyalakan." Ia memerhatikan sambil membersihkan tangan dengan sapu tangannya. Motor pun kembali menyala.

Haduuuh ... sudah ganteng, baik pula hatinya, batinku, Mungkinkah dia yang selama ini kucari? Ya Allah, Dia kah jodoh yang selama ini kucari?
Aku GR sekali, hari ini.

"Makasih ya, Mas!" Aku mengulurkan sebotol air mineral dari kantong belanjaku. Ia menerima sambil tersenyum.

Duuuh ... manisnya. Rasanya aku naksir deh.

"Iya, sama-sama," katanya, lalu meneguk air mineral yang kusodorkan.
"Lain kali, sering servis motor ya!" Ujarnya, selesai menutup botol mineralnya. Lalu ia pamit, kembali ke tempat ia memarkirkan motornya.
Ku hanya bisa diam, melihat punggungnya. Sampai ia di seberang, sama sekali tidak menoleh lagi.

Ia bahkan tidak menanyakan namaku. Namaku Cinta, Mas! Ucapku berbisik.

Ya Allah, kenapa zonk lagi. Kupikir dialah pelengkap hati yang Kau kirim untukku.

Dengan kecewa, kantong belanja kunaikkan, lalu melajukan motorku. Pulang.
Kakak pasti sudah menunggu popok dan perlengkapan mandi anaknya. Nanti sore akan pulang, dijemput suaminya.

*******

Ali melangkahkan kakinya, menuju gadis yang terlihat menyedihkan. Mendorong motor diterik matahari. Ia menolong dengan ikhlas karena iba. Meski ingin juga mengajaknya berkenalan. Berharap dia adalah potongan hatinya. Gadis manis yang menarik. Walau ia tak tahu, apa yang membuatnya tertarik.
Tapi itu sebelum ia tahu, isi kantong belanjanya.
Penuh perlengkapan bayi dan popok. Sedikit kecewa, karena dugaannya salah. Ia sudah bukan gadis lagi, tapi mamud. Mama muda yang menarik.
Ali memupus rasa kecewanya.
Dasar bodoh. Ini bukan sinetron, Ali!
Dan ia pun tersenyum. Entah dengan cara bagaimana, Allah akan mempertemukan jodohnya.

#### Tamat ####

* Terinspirasi lagu: Lubang di dalam hati
   Oleh: Letto

Jumat, 28 April 2017

Salah Kostum


Kakak ipar yang baru saja datang dari Sidoarjo, mengeluh. Naik kereta yang lumayan penuh penumpang, membuatnya penat. Apalagi ada pasangan muda yang membawa anak bayi, keduanya berdandan modis ala anak jaman sekarang. Si Ayah dengan gaya rambut artis korea, bajunya memakai kaos oblong, dan celana pensil. Sedangkan si Ibu tidak mau kalah, memakai kaos oblong ketat dan pendek, sedang celananya rendah dibawah puser. Entah apa namanya, karena aku kudet masalah mode. Kerenlah, pokoknya.

Awalnya semua baik-baik saja, sampai tibalah si bayi menagih haknya. Ia menangis tak henti-henti. Si Ayah dengan wajah culun terlihat bingung begitu pun dengan Ibunya. Digendong, diayun-ayun, diajak berdiri, lalu duduk lagi. Bergantian dengan Ayahnya, begitu terus. Tapi tidak berhasil menenangkan.

Akhirnya, kakak yang mulai gemas, karena sepertinya si bayi minta nenen, mulai bertanya kepada si Ibu muda, "Anaknya ngantuk mungkin, Mbak. Dikasih susu aja. Bawa botol minumnya, kan?" Asal tebak, kakak menyarankan. Karena melihat dari baju yang dikenakan, tidak memungkinkan memberi ASI.
Ibunya meringis. Dan terlihat salah tingkah. Ternyata, si Ibu salah kostum. Maunya terlihat modis, tapi lupa kalau anaknya masih ASI.

Akhirnya, dengan tidak sabar dan naluri keibuannya yang muncul. Kakakku memberi saran, sang suami menutupi tubuh istrinya yang mau tidak mau harus mengangkat kaosnya. Agar si bayi bisa mendapatkan haknya. Dan suasana pun tenang kembali. Byuh! Untung hanya pakai kaos mini. Sulit membayangkan, kalau yang dia pakai baju model long dress. Bisa horor satu gerbong, kan!

Aku lalu teringat pengalamanku sendiri.
Saat itu, anak bungsu masih berumur 1,5 tahun.
Karena malas cari gamis yang busui friendly, aku pakai gamis yang resletingnya di bagian belakang. Sekenanya saja aku ambil dari lemari. Aku pikir, " Ah, cuma diajak pergi menjemput sekolah saja, kok. Paling lama, setengah jam juga sampai rumah."

Ternyata dugaanku salah. Kakaknya minta dibelikan seragam baru, lalu kelaparan dan minta cari makan diluar, sekalian. Tidak sabar jika harus pulang dulu. Sedangkan, siang adalah jam rewel si bungsu. Karena sudah waktunya tidur siang.
Maka ... drama pun dimulai. Tangisannya yang cetar, lama kelamaan membuat bapaknya yang sedang menyetir, senewen. Sedang aku tak berdaya, salah kostum. Akses menuju ASI tertutup rapat. Tak ada celah.
Mikir keras dan GPL ( gak pake lama). Iyalah, muka bete suami dah serem banget. Hehehe
Kakak Alif aku suruh pindah ke kursi depan, bertukar  tempat denganku. Lalu di kursi tengah, aku membuat terobosan jalan agar ASI bisa sampai pada bayiku. Tidak perlu dijelaskan detailnya, ya. Intinya, ribet banget deh! Dan ... dunia pun kembali tenang.
Apa yang saya lakukan, sangat tidak disarankan dilakukan di tempat umum. Horor, saudara-saudara!

Jadi pelajaran buat ibu-ibu yang masih memberi ASI, bayi kalian tidak akan peduli. Secantik dan semodis apa ibu mereka, terutama saat mengantuk dan lapar. Yang ada di pikiran mereka cuma nenen. Maka pastikan sebelum pergi, baju kalian memiliki kemudahan menuju makanan mereka yaitu ASI.

#### TAMAT ####

Kamis, 27 April 2017

Dikeroyok Gank Pocong


Peristiwa ini terjadi tiga belas tahun yang lalu. Saat aku masih pengantin baru.( eh cie cieee ... Gak boleh sirik ye. Hihihi)
Kami berdua dalam perjalanan dari Jombang ke Ngawi. Tempat tinggal kakak iparku. Tapi aku lupa untuk keperluan apa kami ke sana. Yang kuingat, kami berdua berangkat sore dengan berboncengan motor. Lepas magrib, kami sudah memasuki alas (hutan) saradan.

Melewati jalan raya yang membelah hutan, membuatku agak takut. Bukan apa-apa, aku takut ada rampok jika jalanan sepi pas di tengah hutan. Atau, jika tiba-tiba mogok di tengah jalan, terus ada hantu lewat. Hiiiii ... ngeri.
Aku mengencangkan peganganku di pinggang suamiku.

Ia tertawa, " Takut ya? Ga usah takut, gak ada yang perlu ditakutkan di hutan ini, gak ada serem-seremnya."

Mungkin dia menenangkan aku agar tidak lagi takut. Tapi kalau melihat hutannya sih, memang tidak terlalu gelap. Tapi rasa was-was itu masih menggelayuti hatiku.
Aku tak berhenti berdoa memohon keselamatan. Setiap ada kelip lampu motor atau mobil lain, aku bersemangat. Menyuruhnya melajukan motor agak kencang, supaya ada temannya. Tidak terlihat sendirian

Sampai di rumah kakak, sudah malam.
Kami dipersilakan mandi dan makan malam. Setelah itu, aku masuk kamar. Mataku sudah tidak bisa kompromi. Mungkin lelah karena selama perjalanan aku tegang. Suamiku tiduran di sofa, berpunggungan dengan kakak iparku dan suaminya yang sedang asyik menonton tivi.

Keesokan harinya, suamiku bercerita. Dia bermimpi dikeroyok pocong. Tiga pocong dengan muka menyeramkan mendatanginya. Ia berteriak-teriak dan menyebut asma Allah. Tapi sulit sekali, mulutnya seperti tersumbat sesuatu.
Kakak dan suaminya mendengar erangan suamiku, langsung berinisiatif membangunkannya. Mereka heran, baru saja tidur kok mengigau.
Dan yang lebih aneh, ayam-ayam peliharaan mereka terdengar panik dan berisik. Berkotek-kotek dan mengibas- kibaskan sayapnya. Seperti ada sesuatu yang mengganggu.
Suamiku lalu bangun, kemudian minum air putih untuk menenangkan diri, lalu melanjutkan tidur lagi di tempat yang sama. Ia tidak berani bercerita saat itu juga. Dan tidak ingin membangunkanku yang terlelap di kamar.
Baru saja ia tertidur, ia mengalami mimpi seram yang sama. Ketiga pocong itu masih menunggunya, bersiap untuk mengeroyoknya kembali. Sialnya, itu terjadi karena ia lupa berdoa.
Kembali kakak membangunkannya.
Setelah berdoa, barulah dia bisa tidur nyenyak.

Lalu kami berdua diam, mencoba mengingat penyebab mimpi yang ganjil itu. Dan kemungkinan besar, karena suamiku telah meremehkan hutan saradan yang kami lewati kemarin malam. Dan kebetulan, ada gank pocong yang mendengar. Lalu mereka tidak terima dan memberikan pelajaran kepada suamiku.

#### Tamat ####

Rabu, 26 April 2017

Rencana Penyerangan


"Bagaimana, apa rencana untuk nanti malam sudah Kamu siapkan?"

"Kamu yakin, mau memakai rencana dariku lagi? Bukankah kemarin saat gagal, Kamu menyalahkanku terus menerus!"

Kedua kakak beradik itu terlihat tidak seperti sedang berbicara berdua, karena meski duduk bersebelahan tapi matanya menatap lurus ke depan. Cara berbicaranya pun aneh. Seminim mungkin membuka mulut dan berbisik-bisik. Sepertinya ada dinding yang bertelinga. Atau cctv dipasang di mana-mana.

"Iya ... iya. Maafkan aku, sudah memarahimu karena kegagalan rencana kemarin. Semoga rencana kita sekarang berhasil, oke!"

"Baiklah kalau begitu. Begini rencananya, usai jamuan makan malam kita mulai bergerak. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, kakak pamitlah terlebih dahulu. Lalu diam-diam masuk ke lokasi. Siapkan bantal. Kali ini kita menggunakan bantal saja untuk meredam suara pistol."

"Boleh juga idemu. Kita tidak akan ketahuan kalau saat menembak diredam memakai bantal. Lalu, apa tugasmu selama aku tidak ada."

"Aku akan mengalihkan perhatiannya sejenak. Jika ia lengah, secepatnya aku bergabung denganmu."  

"Baiklah, tapi jangan lama-lama. Nanti rencana kita gagal lagi."

"Tenang! Aku bisa mengatasinya."

Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB.
"Kak! Dek! Sini, mari makan!" Ibu memanggil kedua anak lelakinya untuk makan malam bersama. Ayah keluar kota, jadi hanya ada mereka bertiga di meja makan.

Usai makan malam, seperti rencana semula. Kakak pamit ke kamar, sedangkan adiknya mengalihkan perhatian ibu dengan mengajaknya ngobrol tentang sekolahnya. Beberapa saat kemudian, saat ibu mulai mencuci piring-piring kotor. Ia mengikuti kakaknya ke kamar di lantai atas.

Pertempuran seru akan segera dimainkan. Pistol-pistol, bantal-bantal yang disusun sedemikian rupa serta boneka prajurit yang dijadikan musuh sudah berjajar rapi. Mereka siap untuk menyerang.
Berdua tertawa cekikikan, merasa rencana kali ini tidak mungkin gagal.
Karena yakin, saat melakukan penyerangan, suara pistol-pistol itu akan teredam bantal yang akan digunakan.
Tapi mereka lupa, kaki-kaki yang berlarian di lantai atas. Akan terdengar berdebum di lantai bawah. Ibu pasti tahu, jika saat itu mereka sedang asik bermain. Bukan sedang belajar.

Baru lima belas menit berlalu, ibu datang melongok dari pintu.
"Bukankah seharusnya, kalian belajar? Kalian lupa, pesan Ayah? Tidak ada oleh-oleh untuk yang malas belajar!"

Kakak beradik itu pun berhenti dan dengan langkah gontai mengambil buku pelajaran untuk di baca. Kamar yang seperti kapal pecah harus dirapikan seusai belajar. Tidak mendapat oleh-oleh mainan baru adalah hal yang tidak menyenangkan.

Setelah ibu berlalu, mereka berdiskusi.
"Tuh, kan. Gagal lagi. Apa yang salah dengan rencana kita kali ini, ya?" Mereka berdua berpikir keras, mencari penyebab kegagalan rencana hari ini.

#### Tamat ####

Selasa, 25 April 2017

Tentang Cinta (3)


Di kamarnya, Selly menatap foto bunga "Forget Me Not". Bunga yang pernah dikirim seseorang dari masa lalu. Diabadikannya sebelum kering dan layu.

Sebuah nama yang sudah ia lupakan sejak lama. Tidak pernah disangka akan datang kembali membawa cerita lama.
Saat itu, ia masih terlalu kecil untuk mengetahui apa itu cinta.
Membelanya saat itu hanya spontan ia lakukan,  demi keadilan saja. Tak disangka, ternyata setelah peristiwa itu Boy memiliki perasaan padanya. Dan sampai sekarang masih disimpannya.

Selly mendesah ... dibaringkan tubuhnya di tempat tidur. Tidur telentang menatap langit-langit kamar. Masih tergambar jelas peristiwa setahun yang lalu. Sepulang dari sholat dhuhur di masjid kampus. Seorang pemuda yang ia kenal sebagai kurir bunga mencegatnya. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Totok.
Pemuda itu meminta nomer hpnya. Dan sejak itu ia mulai akrab dengannya. Apalagi kampus mereka sama, hanya berbeda jurusan saja. Meskipun tidak pernah jalan atau makan berdua, Selly dapat melihat tanda-tanda adanya rasa yang tak biasa pada pemuda itu.
Apalagi secara intens, Totok menghubunginya lewat WA atau BBM.
Berdiskusi  apa saja, kecuali tentang agama. Selalu ada hal yang membuatnya berdebat sengit. Tidak pernah menemukan titik temu. Jika itu terjadi, mereka berdua diam. Masing-masing kukuh dengan pendapatnya. Lalu mengalihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana.
Selain itu, Ia orang yang menyenangkan dan begitu perhatian.
Mungkin ada sedikit rasa kagum yang dirasakan Selly. Karena Totok juga seorang yang mudah berbaur dengan teman-temannya. Baru seminggu berkenalan, dia memberikan pengakuan.

"Selly, aku mau membicarakan sesuatu. Tapi tolong, aku mau hanya kita saja yang tahu."
Sebenarnya ia sudah menolaknya, tapi tatapan wajahnya yang menghiba membuatnya luluh.

Lalu ia memberikan pengakuan, jika sebenarnya ia adalah Boy. Yang telah lama mencarinya. Melakukan penyamaran bukan sengaja ia lakukan katanya. Saat bertemu di depan masjid, ia sudah akan memberitahukan jika ia kurir gadungan. Dialah Boy, teman lama yang memberikan bunga itu.
Tapi karena grogi, ia justru menyebutkan nama panggilannya. Nama panjang dia adalah Boy Hartanto. Waktu itu dia marah, karena telah salah menilai pemuda yang dikaguminya. Karena ia pikir, pemuda itu tangguh. Melakoni kerja sebagai kurir bunga dan mahasiswa. Ternyata semua bohong belaka.
Di lain sisi, Selly merasa bodoh, ia lupa nama panjang Boy dan nama panggilannya. Karena selain lama berlalu, ia tidak pernah menganggap penting untuk mengingatnya.

Mengingat kembali peristiwa lalu,  setelah identitas aslinya terkuak. Boy semakin berani merayu dan berusaha mendekatinya. Sampai suatu ketika, dia berani datang ke rumah waktu libur semester. Alasannya, dia kangen.
Membuat hati gadis itu tidak tenang. Ustazah menerangkan berulangkali tentang hubungan laki-laki.dan perempuan. Harus terpisah.
Setelah dia pulang pun, Ayah marah pada Selly. Beliau tidak suka dengan Boy. Tapi tidak jelas apa alasannya.
"Feeling seorang Ayah!" Hanya itu yang beliau katakan.
Sejak itu, Selly mulai menjaga jarak dengannya. Ada saja alasan untuk menghindari pertemuan dengannya.

Kemudian, di suatu hari minggu. Pulang dari kegiatan di Masjid kampus. Boy menghampiri dan meraih tangan Selly untuk menjauh dari kerumunan.
Ia meronta berusaha melepaskan tangan Boy. Tapi tangan pemuda itu sangat kuat. Tidak sia-sia latihan beladirinya selama ini.Tidak dipedulikannya tatapan berpasang-pasang mata yang menyaksikan kenekatannya. Hampir menangis gadis itu pasrah. Lalu, di bawah pohon yang rindang. Beberapa meter saja dari Masjid. Mereka berhenti. Boy ingin memastikan, perasaan gadis yang sudah membuatnya tergila-gila itu. Bahkan mungkin sudah benar-benar gila. Tidak ada toleransi waktu. Harus dijawab saat itu juga. Sedikit ketakutan, Selly menjawab. Di dalam hatinya tidak henti-henti diucapkannya doa. Agar ia dimudahkan dan tidak salah dalam berkata-kata.

"Maafkan aku Boy. Dulu aku terlalu kecil, tidak bermaksud sama sekali membuatmu jatuh cinta. Jika itu mengubahmu menjadi lebih baik, aku ikut senang. Tapi kamu juga harus menyadari. Aku bukan Selly yang dulu. Aku juga telah berubah," Sejenak ia berhenti dan menelan ludah," Aku sekarang telah menemukan cinta sejatiku. Yaitu cinta Allah padaku. Jika kau sungguh-sungguh mencintaiku. Hanya ada dua pilihan. Menghalalkan atau mengikhlaskan."

Boy terlihat gusar, ia mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Jangan berputar-putar. Cukup jawab saja, mau apa tidak kamu jadi pacarku. Itu saja." Suaranya ditekan sedemikian rupa, tapi masih terasa emosinya.

"Apa jawabanku masih tidak jelas bagimu? Aku tidak mau pacaran. Haram hukumnya. Lagi pula akan membuang waktuku saja. Aku tidak suka!" Selly menyusut air mata yang tak bisa dibendungnya lagi. Kini hatinya merasa kecewa. Ternyata orang yang jatuh cinta susah diajak bicara.

"Kalau hanya waktu yang kau pinta. Aku tidak akan banyak mengganggumu. Tapi tolong, jangan kau tolak cintaku." Kini ia berubah melunak.

Selly pergi meninggalkannya. Ia tidak ingin mendebat lagi.
Keesokan harinya, saat masuk kelas. Selly dikejutkan berita dari sahabatnya.  Bahwa Boy telah menjalin hubungan dengan Fay tadi malam. Gadis yang selama ini mengganggunya. Ia naksir berat sama si Boy.
Ada rasa sakit di hatinya. Tapi bukan patah hati. Hampir seperti rasa ditipu atau dibohongi. Ia pikir, cinta pemuda itu memang ditujukan padanya. Tapi buktinya, dalam sehari ia sudah menemukan pengganti.
"Dasar play boy!" Desisnya.

Di bawah, ia melihat pemuda itu. Seperti biasa mencegatnya. Selly melengos, ia sangat sebal.
"Selly, tunggu!"
Ia tidak menghiraukan. Tetap berjalan,  pulang.
"Kamu marah?" Boy mensejajari langkahnya.
"Kenapa aku harus marah? Urus saja pacar barumu."
"Hahaha ... Jadi benar, kamu marah dan cemburu karena aku sudah punya pacar, kan?" Ia tertawa menyebalkan.
Ingin rasanya, menampar mulut pemuda itu.
"Aku seperti ini, karena salahmu." Ia berkata dengan santainya.
"Seandainya kau cemburu, aku bisa memutuskan dia saat ini juga. Dan aku akan kembali padamu." Sambungnya sambil tersenyum.

Gilaaa! Ini laki-laki benar-benar sudah kepedean. Mana laki-laki kecil pendiam yang pernah aku kenal

"Kamu sudah gila, Boy. Aku tidak mau jadi pacarmu titik!" Darah gadis cantik itu serasa mendidih. Apalagi ia tahu siapa pacar Boy. Seorang yang selama ini mengganggunya. Karena cintanya yang besar pada Boy dan ego dia sebagai anak orang kaya dan modis di kampus. Tapi kalah dengan gadis kampung berhijab seperti Selly.
Tanpa merusak hubungan percintaannya saja, fitnah apa pun sudah dia lakukan, apa lagi merebut pacarnya. Dia pasti akan melakukan apa saja untuk membalas. Selain itu, ia tidak mungkin membiarkan pemuda itu mempermainkan perasaan perempuan dengan seenak hatinya. Meski ia tidak suka pada Fay, tapi sebagai sesama perempuan, ia tidak rela jika hati itu disakiti. Ia tahu, gadis kaya menyebalkan itu berbuat jahat karena cintanya yang buta.

Sebentar kemudian, WA dan BBMnya penuh dengan kata maaf dari Boy.
Dengan emosi, ia blokir saja semua. Tapi seperti teror, pemuda itu mengganti nomer dan mencoba menghubunginya lagi. Ia lelah. Akhirnya membiarkan semua berjalan seperti biasa. Hanya hatinya sudah berubah. Tidak ada lagi kekaguman hanya rasa muak dan bosan menghadapinya.

Ternyata cinta bisa mengubah seseorang menjadi menyenangkan atau menyebalkan. Kegilaan Boy, berawal dari rasa cintanya pada Selly. Mengubah pribadinya menjadi lebih percaya diri dan digandrungi banyak perempuan. Fay, gadis kaya yang modis dengan segala tingkah gayanya. Menjadi lebih sadis dari serigala yang ingin mengamankan wilayahnya dari serigala lain.

Lamunannya terhenti. Diteguknya segelas air putih. Setelah itu, mengambil air wudhu, Selly memutuskan untuk sholat dua rakaat. Menyerahkan semua urusan kepadaNya.
Karena urusan jodoh hanya Dia yang Maha Tahu. Yang terbaik menurut manusia, belum tentu baik menurut Allah. Begitu pun sebaliknya. Yang menurut manusia buruk, bisa jadi itulah yang terbaik menurut Allah.

Waktu cepat sekali berlalu, masa kuliah kurang satu semester lagi jika skripsinya selesai. Tadi pagi, ustazah memanggilnya. Menyampaikan satu berita. Ustaz yang selama ini menyampaikan tausiyah rutin mingguan. Meminta dijembatani niatnya. Ingin mengkhitbah Selly jika ia berkenan. Secepatnya, akan datang meminta kepada kedua orangtuanya. Dada Selly berdesir dan terasa geli tak tahu apa artinya. Tapi sangat hangat dan menyenangkan. Ustaz muda yang selama ini menjadi idola banyak temannya.

Usai sholat ia beranjak tidur, sepertinya ia tahu jawaban apa yang akan ia katakan pada ustazahnya besok pagi. Ia tertidur dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

####

Sementara itu, Boy yang masih mencuri-curi kesempatan untuk mendekati Selly. Dipantau ketat oleh Fay. Ia tahu, Boy tidak menyerah begitu saja pada Selly. Meski ia sudah berusaha memberikan segalanya pada pemuda itu.
"Boy, ayolah kita menikah saja." Ucap Fay manja. Tangannya ia lingkarkan pada pinggang pemuda itu.
Sudah ribuan kali, Boy berusaha menenangkan desir-desir halus di dadanya. Setiap kali Fay berusaha menggodanya. Bagaimana pun, ia lelaki normal. Berkali-kali tangannya menepis tangan halus Fay. Agar tidak terlalu menempel padanya.
Bukan tidak suka, hanya takut khilaf. Karena setiap naluri kelaki-lakiannya bangkit, sekelebat wajah Selly masih menghantui. Menatapnya sambil mendelik. Seketika itu, ia melepaskan rangkulan Fay.
" Entahlah, Fay. Kita kan masih kuliah. Aku juga butuh kerja." Boy berdalih.
" Ah, kau ini selalu saja seperti itu. Kan sudah kubilang, Papa pasti akan memberimu pekerjaan di perusahaannya. Jangan alasan, deh!"
Ia mulai ngambek lalu mengancam.
" Aku gak mau tahu, ya. Kamu harus lamar aku. Atau aku akan bunuh diri dan bilang kepada semua orang lewat suratku. Kematianku adalah salahmu!"
Boy bergidik ngeri. Berbicara tentang cinta, ia bisa membuat orang jadi gila. Kini ia tahu, bagaimana rasanya dikejar cinta gila.

#### Tamat ####