Senin, 08 Mei 2017

Dongeng: Pangeran Kodok

Pada suatu hari. Di sebuah kerajaan yang megah. Terdapatlah seorang putri raja yang manja. Apa pun keinginannya, harus dituruti. Jika tidak, ia akan mogok makan, mogok mandi, tapi tidak mogok makan, karena ia tidak mau kelaparan. Apalagi kalau digoda aneka masakan berbahan dasar jengkol, mana tahan dia.

Putri jenuh bermain di Istana. Dia memutuskan untuk pergi ke taman istana yang luas. Taman itu indah sekali, aneka macam bunga ditanam di sana. Di tengah taman terdapat kolam yang hampir menyerupai danau buatan, karena cukup luas dan agak dalam. Di sekitarnya ada beberapa pohon besar  rindang yang rantingnya menjuntai di atas kolam.

Putri memutuskan untuk duduk di bawah salah satu pohon yang terdapat tempat duduknya, karena tidak semua pohon dipasang tempat duduk yang terbuat dari semen dibentuk bulat, menyerupai potongan batang pohon.
Matanya kosong memandang lurus ke depan, melamun. Hidupnya serba mudah, tapi membosankan. Apa pun keinginannya selalu disediakan, tapi tidak pernah membuatnya puas. Ada sesuatu yang kosong di dalam hatinya. Kedua orangtuanya sibuk dengan kegiatan istana. Sedari kecil, ia diasuh oleh dayang-dayang istana. Berganti-ganti, karena tidak tahan dengan sikap manjanya. Ia berbuat begitu demi ingin diperhatikan oleh kedua Raja dan Ratu, namun semua usahanya tidak membuahkan hasil. Mereka lebih memilih mengikuti semua yang dia mau, daripada menunda pekerjaan sebentar saja. Acara makan mereka bertemu, tapi dilarang makan sambil bicara.

Ia memainkan bola emas yang selalu dibawanya. Tak pernah sekali pun ia berpisah dengan bola itu. Ukurannya yang hanya sebesar bola bekel membuatnya mudah untuk dibawa ke mana-mana.
Tanpa sadar, bola melambung terlalu tinggi lalu jatuh ke bawah memental beberapa kali sebelum masuk ke dalam kolam yang gelap.
Putri yang tidak berhasil menangkap bola kesayangannya, menangis di pinggir kolam.
Tak berapa lama, seekor kodok mendekat.
"Kamu kenapa menangis?" Ia bertanya.
"Bola emas kesayanganku jatuh ke kolam itu." Putri terisak sambil menunjuk ke dalam kolam.
"Aku bisa menolongmu, tapi ada syaratnya."
"Benarkah? Aku tidak peduli, apa pun syaratnya aku pasti penuhi." Mata Putri berbinar-binar, ia tidak berpikir panjang. Yang penting, bola kesayangannya kembali.
"Baik, kau tunggulah di sini."
Lalu kodok itu menyelam masuk ke dalam kolam.
Beberapa saat lamanya, putri sudah terlihat gelisah menunggunya.
Kodok melompat keluar dari kolam dengan membawa bola itu di mulutnya.
"Syukurlah." Putri mengambil bola dari mulut kodok lalu pergi kembali ke istana, tanpa mengucapkan terimakasih. Ia juga tak menghiraukan kodok yang melongo.

Malam harinya, saat makan malam berlangsung, kodok datang menuntut janji. Kedua orangtuanya mendengarkan dan marah pada anaknya. Karena wibawanya dipertaruhkan. Sebagai keluarga kerajaan, harus menepati janji-janji yang telah diucapkan.
Akhirnya dengan berat hati, putri bertanya pada sang kodok.
"Baiklah, apa maumu?"
"Aku mau makan dan minum dari piring dan gelasmu. Aku juga mau tidur di tempat tidurmu."
"Apa! Aku tidak sudi!" Putri berteriak marah.
"Janji adalah janji. Untuk itu, sebelum berjanji seharusnya kau berpikir dulu." Tegas sang raja.
Putri tidak kuasa, lalu dengan berat hati mengabulkan keinginan sang kodok.

Saat akan tidur di tempat tidurnya, sang kodok mengajukan permintaan terakhirnya.
"Sebelum tidur, aku mau kau menciumku terlebih dahulu."
Sang Putri naik pitam, diambilnya kodok kurang ajar itu. Dan melemparnya keras-keras ke tembok kamar.

SPLASH!

JDERRR!

Tiba-tiba ada asap tebal keluar dari tubuh kodok yang terlempar, lalu berubah menjadi pangeran yang tampan sekali.
Putri manja itu melongo, lalu disekitar tubuhnya ada asap berputar-putar seperti melilit tubuhnya. Sesaat kemudian, ia berubah jadi kodok.
"Oh, Putri yang sombong lagi manja. Seandainya kau mau mengabulkan keinginanku. Kau pasti kujadikan istriku. Tapi karena mengingkari janji, kini kaulah yang terkena kutukan."
"Tidaaakkk! Kembalikan wujudku. Kau pasti berbohong." Putri Kodok menangis dan panik.
Kedua orangtuanya tak kuasa menghadapi kenyataan. Mereka kompak mati mendadak, serangan jantung kata tabib istana.

Putri yang merasa malu, pergi keluar istana. Hilang ditelan kegelapan malam.
Pangeran hidup berbahagia, mendapatkan istana lengkap beserta isinya secara gratis.

### Tamat ###

*dongeng ini endingnya dibuat berbeda dari dongeng aslinya. Bisa dikatakan ini fiksi penggemar atau bukan, terserah anda bagaimana menilainya...hehehe

*Fiksi penggemar (lebih dikenal dengan sebutan Fanfiction, FF, atau Fanfic) merupakan suatu sebutan yang dikenal luar untuk karya-karya yang dibuat penggemar yang berhubungan dengan cerita tentang para tokoh (atau tokoh fiksi), atau latar yang dibuat oleh penggemar dari sebuah karya asli, alih-alih sang pembuat karya tersebut. Penulisan karya fiksi penggemar jarang diberi kuasa oleh pemilik karya asli, pembuat, atau penerbit; tulisan-tulisan itu juga hampir tidak pernah dipublikasikan secara profesional.

Minggu, 07 Mei 2017

Marina (3)

"Namaku Faro, dari kaum Mer. Bukan putri duyung, separuh manusia dan ikan, seperti pemikiran kalian orang-orang udara. Lucu sekali menggambarkan kaum kami seperti itu."
Dia berkata dengan tatapan meledek, seolah-olah, manusia yang hidup di udara tidak tahu apa-apa.
Marina melengos, kesal.

"Coba kulepaskan tanganmu, menyelamlah sendiri. Kini kau dan laut adalah satu." Faro melepaskan pegangannya, tapi Marina ganti memegang pergelangan tangannya.
"Jangan! Aku takut tenggelam."
"Tidak akan, percayalah. Asal jangan berpikir untuk bernapas atau memikirkan udara. Kau akan baik-baik saja. Cobalah!"
Pelan-pelan dilepaskan tangannya. Ia kini menyelam sendiri.
Tangannya ia tangkupkan lalu ia rentangkan. Marina tertawa gembira, ia merasa jiwanya bebas.

"Sekarang, ikut aku. Akan kutunjukkan tempat yang paling indah di sini."
Lalu ia melesat cepat, Marina tak mau ketinggalan. Dia mengikuti secepat yang ia mampu. Jika tertinggal agak jauh, Faro akan menunggunya dengan sabar.
Mereka menyusuri laut, melewati segerombolan ikan-ikan kecil dan biota laut lain. Sesekali Faro berhenti seperti menyapa mereka. Tapi Marina sama sekali tidak mengerti bahasa mereka.

Kemudian sampailah ia di tempat yang sangat luas, penuh karang beraneka warna. Pasirnya terlihat putih bersih. Ikan-ikan dan makhluk laut yang ada lebih beragam dan bermacam warna. Pemandangan yang sangat indah. Faro terus mengajaknya berkeliling.
Lalu ada tirai cahaya dari atas ke bawah. Marina mendongak ke atas, terlihat ada lapisan cahaya di sana.
"Itu permukaan air laut yang ditimpa cahaya matahari." Jelas Faro.
"Oh ya? Apakah sekarang sudah pagi?" Marina tersentak, ia merasa baru beberapa menit menikmati keindahan alam bawah laut.
"Kenapa? Justru bagus, kamu akan aku ajak melihat kapal karam. Tempatnya agak jauh, tapi selama kau ada di dekatku. Semua pasti aman."
Ia mengedipkan sebelah matanya, menggoda Marina.
"Dulu, banyak orang yang tenggelam sepertimu, kaum Mer banyak yang menolong agar mereka pasrah. Tapi kalian yang dari udara, sulit sekali mendengarkan kami. Mungkin memang tidak ingin meninggalkan udara. Akhirnya, banyak yang mati tenggelam. Sudahlah! Ayo, kita berangkat sekarang." Dengan sekali mengibaskan ekornya, Faro meluncur lurus ke depan.

Tapi Marina bergeming di tempatnya. Entah kenapa, tiba-tiba Ia teringat akan  suaminya, juga anak-anak. Sekelebat bayangan-bayangan mereka datang silih berganti, saat suaminya mengucapkan cintanya, " I love You, Ma. Smoga kita selalu bersama, ya ...."
Lalu saat ia mengajari anak pertamanya berjalan juga berbicara.
"Ayo sayang, ucapkan Maaama."
"Maaa ... Maaa."
Tawanya berderai melihat anak pertamanya.

"Pinter anak Mama, selangkah lagi yuk!"

Berganti bayangan si bungsu yang minta digendong. Sesaat kemudian, badannya kembali terasa sesak. Diimpit air dari segala arah.

Di waktu yang sama, Faro yang tidak merasakan kehadiran Marina, menoleh. Dilihatnya perempuan itu tersiksa dan kesakitan karena telah mengingat daratan. Secepatnya, ia berbalik arah. Mengguncang-guncang tubuh Marina.

"Hentikan! Hentikan! Lupakan udara, lupakan! Kau bisa mati."
Ia panik. Lalu ditariknya Marina ke atas permukaan menuju udara. Tidak dipedulikannya lagi, ia akan tersiksa sesaat sebelum berada di udara.
Hampir sampai di atas, Faro merasakan dadanya sakit luar biasa. Udara menyakitinya, walau hanya sesaat sebelum akhirnya ia benar-benar berada di permukaan laut. Ditepuk-tepuknya pipi Marina yang hampir tak sadarkan diri.
"Jangan tidur. Kumohon ... tetaplah terjaga."

Antara sadar dan tidak, Marina mendengar suara-suara. Awalnya tidak terlalu jelas, tetapi lambat laun ia bisa mendengarnya.
Faro. Ia berusaha keras menolong Marina. Akhirnya, ia sepenuhnya sadar dan terbatuk-batuk mengeluarkan air laut yang terminum. Masih dirasakannya sakit yang tak terhingga di sekujur tubuhnya.

Ia menoleh menatap wajah penolongnya. Baru tersadar, jika wajah itu mirip sekali dengan Bara. Hanya saja ia memiliki warna mata yang coklat sedangkan Bara memiliki warna mata yang hitam. Kulit yang dimilikinya pun coklat bagai terbakar sinar matahari. Berbeda dengan suaminya yang jarang terkena sinar matahari langsung.

"Terimakasih." Kata Marina lemah.
"Kau bodoh!" Ia membuang muka. "Sudah kubilang, lupakan udara. Kau akan memiliki kehidupan yang lebih baik di sini." Wajahnya terlihat kecewa.
"Aku tidak bisa, Faro. Aku telah.memiliki suami dan anak-anak. Mereka pasti menungguku pulang." Dengan kedua tangannya, Marina memalingkan wajah laki-laki dari kaum Mer itu, agar melihat wajahnya.
"Aku tidak mungkin selamanya di sini. Tempatku bukan di sini. Aku bahkan tidak tahu, mengapa aku sampai di sini."
Faro menundukkan kepalanya, tidak berani menatap langsung mata Marina.

"Apa kau tidak mengingatnya, Marina. Dulu, sewaktu kau masih kecil telah menolongku dari jeratan jala nelayan. Setelah itu, Aku selalu menantimu dan memanggil-manggil namamu. Tapi kau tak pernah hadir. Hingga saat itu. Kau datang memenuhi panggilanku."

Faro menceritakan semua kejadian lampau. Marina mendengarkan tanpa membantah.
Dia memang telah lupa sama sekali tentang hal itu.
Yang diingatnya saat kecil dulu, Ayahnya pernah bercerita. Ia di bawa ke rumah orang pintar atau dukun sepulang berlibur dari pantai. Karena selalu menceracau tidak jelas. Ayah menganggapnya kesurupan hantu laut.

"Sekarang, aku orang yang berbeda Faro. Lagi pula, kita tidak mungkin bersatu. Aku tidak mau tinggal di laut dan kau pun tak mungkin tinggal bersamaku di darat. Tolong bawa aku kembali, Faro. Kumohon!"

Mata Faro terlihat satu kesedihan yang disembunyikan, tapi ia menyetujui permohonan Marina. Ia tidak ingin memaksa perempuan yang diam-diam mengambil hatinya saat itu. Ia tak ingin melihat perempuan cantik itu mati, jika ia memaksa tinggal dan hidup dengannya.

"Baiklah. Tapi, berjanjilah untuk mengikuti perintahku. Sebelum air laut masuk ke tubuhmu, kau harus pasrah dan melupakan bernapas. Melupakan udara untuk sejenak. Aku akan membawamu mendekat ke pantai. Tapi aku tidak mungkin membawamu jauh ke pantai. Kau harus berenang sendiri. Kaummu tak akan menyukai kehadiranku. Mereka akan menangkap dan membunuhku."

Marina mengangguk. Dan menyelam ke dalam laut, setelah pasrah pada laut yang menelannya. Melupakan udara dan tentang bernapas. Membiarkan air laut masuk ke tubuhnya dan menyatu bersamanya. Faro memegang pergelangan tangannya, membawanya menyelam kembali ke arah pantai.

Di tempat yang sepi, di antara batuan karang yang besar. Faro mengajak Marina naik ke permukaan. Saat itu, malam telah datang kembali. Karena waktu di laut dan daratan memiliki perbedaan. Waktu di laut lebih lambat dibandingkan di darat.

Ia melepaskan Marina dengan berat hati.
Dengan sabar ia bersembunyi, menunggu sampai perempuan itu berenang dengan aman kembali ke pantai.

Marina berenang sekuat tenaga ke pantai. Hatinya diliputi rasa rindu sekaligus penyesalan. Karena telah meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Tanpa sadar, ia berenang sambil menitikkan air mata.
Tak pernah ada dalam bayangannya, mengalami hal serupa ini. Faro, laut dan dirinya yang menyatu, pemandangan bawah laut, dan semua cerita Faro tentang masa kecil dan perasaannya.

Di tepian pantai, Marina berdiri. Sesaat sebelum pergi, ia melambaikan tangan ke arah jajaran batu karang. Meskipun yang terlihat hanyalah gundukan hitam di bawah temaram sinar bulan. Ia yakin, Faro masih di sana memandangnya. Menunggunya dan mungkin memanggil-manggil namanya.
Sedang ia harus pergi, menjauh dari pantai dan laut selamanya.

#### Tamat ####

Sabtu, 06 Mei 2017

Marina (2)

Marinaaa ....

Marinaaa ....

Perempuan itu semakin mendekat ke bibir pantai. Setelah ombak menyentuh kakinya, ia merasa ombak berputar-putar di sekitar kakinya. Dan ada magnet yang kuat menarik tubuhnya untuk semakin masuk ke laut.
Sekuat kesadaran yang ia miliki untuk berusaha menolak. Kekuatan itu seperti semakin kuat membelit tubuhnya.
Dan suara itu ... Ia tidak kuasa untuk menghentikan ketertarikannya.

Akhirnya, air laut semakin jauh menyeretnya.
Setelah sepenuhnya tenggelam, Marina seperti tersadar dari hipnotis.
Terlambat, ia sudah semakin ke tengah laut. Gelagapan, tangan Marina menggapai-gapai ke atas. Ia berusaha untuk tidak tenggelam dan berenang. Tapi, seperti ada arus kuat yang menyeretnya masuk ke dalam dan menenggelamkannya.
Marina berteriak-teriak meminta tolong, sebelum akhirnya kelelahan lalu tenggelam.

Di sisi lain, saat ia baru separuh tenggelam tadi. Beberapa nelayan ada yang memergoki tindakannya. Mereka berteriak-teriak mencoba memperingatkan Marina untuk kembali ke  pantai. Tapi jarak yang cukup jauh membuat suara mereka tidak cukup terdengar. Apalagi, perempuan itu seperti orang yang tersihir oleh lautan.
Akhirnya mereka panik saat melihat Marina terseret ombak.
Mereka langsung berteriak-teriak ke penjuru pantai, mencoba mencari bantuan dan mencari keluarganya.

Sementara itu, Suami dan anak-anak Marina yang ada di penginapan mulai cemas, saat istri dan mamanya pergi dan sanpai magrib belum juga kembali.
Lalu mereka memutuskan keluar, mencari keberadaan Marina. Sesaat kemudian, terjadi kehebohan di pantai. Ada kabar, seorang perempuan bunuh diri dengan menyeburkan diri ke laut.

Hati Bara, suami Marina pun terasa tidak enak, hatinya sesak, dan Ia mulai panik. Maka dicarinya berita tentang perempuan itu. Bagaimana ciri-cirinya.
Ketakutan menjalari seluruh tubuhnya, akan menjadi penyesalan yang tak terkira jika perempuan itu adalah Istrinya.

Lalu, dia memanggil-manggil orang yang sangat ia cintai itu. Sementara, anak-anaknya menangis ketakutan dan ikut memanggil-manggil mamanya. Mereka, merasakan kepanikan Ayahnya.

"Marinaaa ... Marina di mana, kamu!"

"Mamaaa! Mamaaa!"

Disepanjang jalan yang mereka lalui, dipanggil-panggilnya nama Marina. Dan tak lupa menanyakan kepada siapa saja,  orang yang ditemuinya.
Hingga akhirnya Bara pasrah setelah pagi hampir menjelang. Dia melaporkan istrinya yang hilang. Agar  mendapatkan bantuan dari polisi dan tim SAR. Meskipun baru bisa dilakukan keesokan harinya.

Jauh di tengah laut, Marina merasakan sakit sekali. Dada dan tubuhnya terasa sesak dan panas. Seperti dihimpit batu besar. Atau seperti diremas-remas sampai hampir gepeng. Sepertinya, air laut sudah banyak yang masuk ke tubuhnya, ia kini hampir pingsan.
Terlihat bayangan wajah Mas Bara, suaminya yang memandang penuh cinta. Memerhatikannya saat ia sakit, memasak, juga menyuapinya.
Lalu berganti bayangan anak-anak yang memanggil-manggil namanya, ingin dimanja dan diperhatikan.
Senyum polos mereka.
Marina merasa, inilah saatnya ia akan mati. Matanya masih terpejam, sejak tenggelam tadi.
Kini ia siap jika akhirnya ajalnya sampai di sini.
"Maafkan aku, Mas Bara. Maafkan mama, anak-anakku sayang."
Saat-saat terakhir, seperti ada suara disamping telinganya, suara yang sama dengan yang memanggilnya tadi.

"Lupakan udara, lupakan semua tentang udara.
Marina! Jangan mengingat bernapas. Lepaskan, pasrah ... pasrah!"
Marina berusaha membuka matanya, samar ia melihat sosok di sampingnya. Kali ini, makhluk itu memegang pergelangan tangannya.
"Pasrah, aku bilang!" Suara itu terdengar membentak dan memaksa untuk menaatinya. Dan ia pun akhirnya menurutinya, pasrah.
Lalu keanehan terjadi. Tubuhnya tiba-tiba berangsur membaik. Rasa sakit, panas, dan sesak di dada juga seluruh tubuhnya lenyap. Bahkan air laut seperti masuk secara keseluruhan tubuhnya.
Ia merasakan tubuhnya menjadi dingin dan ringan. Serasa tak percaya, Marina menoleh ke sosok penolongnya. Yang masih memegang tangannya.

"Siapa, kamu?" Ia seperti tersadar, sosok itu separuh manusia dan separuhnya seperti baju selam. Akan tetapi menyatu dan ujungnya bagaikan ekor. Tepatnya, seperti ekor anjing laut.

"Hahaha. Syukurlah kamu masih hidup, kau sulit sekali diajak berkomunikasi. Dasar makhluk udara." Ia tertawa, tapi Marina tidak melihat mulutnya terbuka. Sangat mengherankan, tapi ia bisa berbicara dan mendengar dengan jelas.
Seperti layaknya berbicara di udara.

"Kamu berpikir kalau aku makhluk aneh?  Kamulah yang aneh. Tubuhmu terbelah begitu," sambungnya sambil melihat kaki Marina.

"Apa lagi ini, kau pikir aku putri duyung? Heiii! Aku laki-laki, masak kau sebut aku, putri. Pemikiran makhluk udara selalu aneh begitu." Makhluk itu terdengar tertawa lagi.

Terkejut, Marina mendelik. Ia merasa tidak enak hati karena makhluk itu bisa membaca pikirannya. Lagi pula, kenapa dia selalu tertawa.

"Kalau begitu, pasti ini mimpi," Marina bergumam sambil mencubit pipinya.

#### bersambung ####

Jumat, 05 Mei 2017

Marina

Seorang perempuan bertelanjang kaki berlari di pinggir pantai berpasir putih. Matanya terlihat sembab, bekas menangis. Tapi ia tidak peduli.
Pandangan orang yang masih terlihat bermain di pantai pun tidak dihiraukannya.
Setelah dirasa cukup jauh dari rumah penginapan yang terletak di ujung pantai, ia terduduk di pasir yang lembut.
Tangisnya pecah lagi, ia kesal sekali dengan suaminya.

Jauh-jauh datang berlibur, berharap dapat rekreasi bersama. Bergembira dan seru-seruan dengan suami dan anak-anak. Tapi semua diluar dugaannya.
Suaminya tetap saja bekerja, serius di depan laptopnya. Sesekali gawainya berdering dan mengobrol lama dengan teman kantornya. Urusan kantor, katanya.
Anak-anak yang ribut bercanda dan terkadang bertengkar. Sesekali mendapat teguran keras dari suaminya. Apalagi saat menelpon.

"Jangan rame-rame! Ayah ada kerjaan, nih. Bisa diam sebentar, gak!"

Anak-anak terdiam sejenak, lalu berulah lagi.
Mendengar suaminya uring-uringan, Marina tidak tahan lagi. Ini liburan, dan semua sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Dan suami yang super sibuk itu pun telah berjanji, meluangkan waktu untuk dia juga anak-anak. Berlibur bersama tanpa ada urusan kantor yang dibawa.

"Mas, anak-anak sedang liburan. Bukan salah mereka jika sedikit ribut. Kamulah yang seharusnya mengalah. Bermainlah bersama mereka!" Marina menegur suaminya dengan suara pelan dan agak ditekan, ia tidak ingin terlihat ribut di depan anak-anak. Ia tidak ingin merusak suasana liburan mereka.

"Hmm ... baiklah!" Suaminya cuek, menjawab dengan mata tetap tertuju pada laptopnya.

"Kamu kan sudah janji, untuk liburan. Tapi kenapa masih membawa pekerjaanmu, sih? Bermainlah bersama kami, atau kita jalan-jalan saja di pantai." Marina mulai merasa kesal dengan sikap suaminya. Ia merasa diabaikan.

"Iya, sebentar lagi. Nanggung, nih! Kau tahu sendiri, Bos tadi sudah menanyakannya," jawab lelaki yang sudah menikahinya 7 tahun itu, tanpa menoleh sedikit pun.

Emosi Marina memuncak. Perempuan itu marah sekali. Bukan satu dua kali ini terjadi. Dan ia selalu mencoba mengungkapkan semua perasaannya.
Mengurai masalah yang timbul, dengan membuka komunikasi. Tapi sepertinya, semua sia-sia. Karena kejadian selalu berulang lagi.
Untuk membuang rasa marah dan kesal, ia menghambur keluar penginapan. Berlari dan berlari, berharap angin membawa pergi semua beban di hatinya.

Kini saat terduduk lelah, kakinya mulai terasa perih. Beberapa goresan terlihat di kakinya yang mulus. Mungkin tergores pecahan kerang atau karang-karang yang terserak di sekitaran pantai.
Tapi perihnya tidak lebih perih dari hatinya yang diliputi kecewa.
Lalu sayup terdengar seperti ada suara memanggilnya.

Marinaaa ....
Marinaaa ....

Suara itu seperti berasal dari arah laut. Perempuan itu terdiam, menghentikan tangisnya. Mencoba mempertajam pendengarannya. Mungkin ia salah dengar.
Tidak mungkin ada yang memanggilnya.
Hanya ada suara deburan ombak dan angin yang berembus. Pohon-pohon kelapa terlihat sedikit bergoyang, mungkin suara gesekan daun, batinnya.
Diedarkannya pandangan, pantai terlihat sepi. Hanya ada satu atau dua nelayan juga pedagang yang bersiap pulang. Mereka terlihat sibuk sendiri, tidak mungkin panggilan itu datang dari mereka. Pengunjung pantai sudah tidak terlihat, pasti sudah pulang sebelum senja datang.

Marina berdiri, sebentar lagi gelap.
Diusap air matanya dengan ujung lengannya. Meski masih terlihat sembab, ia tidak peduli.
Hatinya sudah sedikit tenang, setelah berlari dan menangis tadi. Diputuskannya untuk kembali ke penginapan. Walau sedikit enggan bertemu dengan suaminya, tapi ia tidak tega meninggalkan anak-anaknya sendirian. Tidak dipedulikan oleh ayahnya yang gila kerja.

Baru beberapa langkah ia berjalan. Suara itu terdengar lagi, sekarang lebih jelas. Memanggil namanya.

Marinaaa ....
Marinaaa ....

Kali ini, menggodanya untuk mendatangi suara itu.
Ia menoleh ke arah laut, seperti ada sesuatu yang menariknya. Tarikan yang sangat kuat untuk mendatangi suara tersebut.

#### Bersambung ####

Rabu, 03 Mei 2017

Nilai Mahar

Pengajian rutin ibu-ibu PKK Kampung Bunga kali ini, dipenuhi jamaah. Mungkin karena ada penceramah tersohor yang diundang oleh tuan rumah. Pemilik hajat adalah seorang dermawan kaya di Kampung Bunga. Acara pengajian diselenggarakan bertepatan dengan peringatan Isra mikraj.
Pinkan datang terlambat, karena masih harus menyusui anaknya sebelum berangkat. Ia bergegas mencari kursi kosong yang masih tersedia. Dan ternyata hanya  tersisa beberapa kursi di deret belakang.

"Permisi ... permisiii ...." Ibu beranak dua itu melewati beberapa orang yang telah duduk terlebih dulu di pinggir deretan paling belakang. Kemudian, ia duduk di sebelah para ibu muda lain yang terlihat modis, mereka mengenakan gamis dan hijab yang serasi. Cantik-cantik dan berbau harum. Pinkan, diam-diam mendengarkan mereka berceloteh. Bukan tidak kenal atau pun minder pada mereka karena keteknya cuma bau bedak bayi milik anaknya. Tapi karena lebih asyik mendengarkan mereka ngobrol daripada ikut bergabung. Iseng saja, sambil menunggu acara yang belum juga dimulai.
Semua jamaah pun melakukan hal yang sama. Ada yang berdiam diri, ada yang memainkan ponsel, dan ada yang mengobrol satu dengan yang lain. Penceramahnya terlambat satu jam dari yang dijadwalkan. Begitu pengumuman dari panitia acara kepada jamaah yang hadir.

"Eh, dulu waktu kamu nikah. Maharnya apa sih?" Salah satu dari mereka bertanya kepada teman-teman di sebelahnya. Setelah berganti-ganti topik pembicaraan.
"Aku sih, cuma seperangkat perhiasan." Sahut ibu muda yang berhijab merah dengan bros besar di pundaknya. Yang mendengarnya pun menbelalakkan mata dan berdecak kagum.
"Kalau aku, uang yang besarnya sesuai dengan tanggal pernikahan. Biar selalu ingat tanggal pernikahan kami, gitu." Sahut yang lain, lalu ditimpali pertanyaan lanjutan. Mulai dari yang bertanya berapa, kenapa, dan sebagainya.
"Waaah, pada matre ya. Kalau aku, cuma minta seperangkat alat sholat saja." Celetuk seorang yang berdandan paling lengkap dan lebih tebal diantara mereka. Usianya menjadi terlihat lebih tua dari yang lain. Walau umur mereka tidak terpaut jauh.

Mendadak, suasana menjadi senyap sejenak. Mungkin mereka tersinggung atau cuma terkejut dengan perkataan ibu muda yang mukanya sedikit judes dengan bibirnya berbentuk kerucut.
"Bukan apa-apa ya, menurut pak ustaz nih, wanita yang baik tuh yang paling ringan maharnya." Sambungnya bangga. Seolah-olah dialah yang paling baik dan benar di antara teman-temannya. Padahal, ia itu karena tidak mampu.

Pembicaraan menjadi tidak senyaman tadi. Lalu, mereka seperti orang-orang yang salah tingkah. Memaksakan diri berbasa basi untuk mencairkan suasana. Tapi suasana sudah tidak sama lagi.
Pinkan meneguk air kemasan di dalam gelas, jatah dari panitia acara. Entah mengapa, mereka yang ngobrol tak henti-henti tapi ia yang merasa haus.

Akhirnya, acara dimulai juga. Meski sudah terlambat satu jam dari satu jam yang diperkirakan panitia. Semua terlihat lega.
Tapi baru sebentar ceramah dimulai, anak sulung Pinkan datang mengabarkan kalau adik bayinya rewel. Terbangun dan minta nenen.
Terpaksa, ia pamit untuk pulang terlebih dulu pada sekumpulan ibu-ibu yang kini terlihat kaku. Kecantikannya turun satu strip karena masing-masing bibirnya monyong satu senti.

Ada yang terlihat masih sibuk berbisik-bisik, menggunjing ibu muda berbibir kerucut. Leluasa karena tempat duduknya terpisah dua kursi. Masih tidak terima dikatakan matre,  mereka bergosip. Karena tahu, yang mengejek mereka sering memaksa suaminya untuk memberi nafkah yang lebih dari kemampuan suaminya. Hanya untuk membeli barang kebutuhan yang persis sama dengan tetangganya, meski ia tidak membutuhkannya.

Sambil menggandeng anaknya pulang, perempuan sederhana itu merenungkan peristiwa tadi.
Seandainya, mahar yang diminta hanya seperangkat alat sholat, tapi calonnya pada saat itu seorang yang miskin. Apakah hal itu tidak memberatkan, ya? Sementara, yang meminta mahar seperangkat perhiasan emas atau sejumlah uang kepada calonnya yang kebetulan saudagar kaya atau orang mampu. Apakah itu disebut memberatkan laki-laki calon suaminya?

Malam semakin larut, suara penceramah masih terdengar sampai ke rumah warga sekitar rumah Pak Haji Sobrun.
Sesampainya di rumah, dilihatnya bayi mungil berusia 14 bulan itu telah tertidur dalam dekapan suami tercinta yang juga terlelap. Teringat mahar yang dipinta darinya. Hafalan satu surat al-quran, tapi saat itu suaminya keberatan. Lalu mahar pun diganti dengan uang satu juta rupiah.
Dan ternyata, justru hal itu lebih meringankan calon suaminya.
Lalu dengan mahar itu, Pinkan sedekahkan kembali pada suaminya, buat tambahan ongkos mengontrak rumah. Berusaha memulai hidup baru tanpa merepotkan orangtua.

Dengan penuh kasih, dipindahkannya bayinya di tempat yang lebih nyaman. Menidurkan anak sulungnya dan menyelimuti suami tercinta.
"Selamat malam sayang, semoga Allah selalu melindungi keluarga kecil kita," bisiknya.

#### Tamat ####

Cinta Seorang Lelaki Tua

Pagi ini, baru saja Atin datang ke salon, tempatnya bekerja selama setahun terakhir. Alis, teman sekerjanya memberitakan kalau ada seorang bapak-bapak mencarinya.

"Pelanggan baru ya, Mbak? Tadi tak tawarin, biar aku aja yang layanin. Tapi gak mau. Dia bilang, mau sama Mbak Atin aja." Kata perempuan bergincu merah darah itu, sambil merapikan meja tunggu khusus pelanggan.

Atin diam, hatinya gelisah. Lelaki itu, beberapa hari ini selalu menguntit kemana pun dia pergi. Lelaki itu, hampir sepantaran ayahnya. Memerhatikannya dari jauh, dibalik sedan putih miliknya. Perempuan muda itu, mengambil sikap tak peduli. Asal lelaki itu tidak macam-macam padanya.

Meski sebenarnya ia merasa jengah, tapi sulit menghindarinya. Tidak mungkin ia bersembunyi. Selain bekerja di salon, ia juga harus mencari nasabah sepulang kerja. Bahkan terkadang, diam-diam pelanggan salon pun diprospeknya. Demi anak semata wayang yang ditinggalkan ayahnya begitu saja. Tidak mungkin selamanya, menumpang terus di rumah Ayahnya. Ia sudah lanjut usia, apalagi Ibu juga sudah tiada. Seharusnya Ayah sudah tinggal menikmati hari tua. Tidak dibebani mengurus anak cucunya. Kewajibannya sebagai anaklah yang harus mengurus Ayahnya. Ia lelaki yang sangat sabar dan pendiam. Atin merasa beruntung menjadi anaknya.

Sekarang, lelaki itu sudah mulai terang-terangan memperlihatkan diri. Mencoba menemuinya.

"Selamat siang. Mbak Atin, ya?" Lelaki itu kembali mendatangi salon tempat ia bekerja.
Lalu ia meminta dicuci dan dipotong rambutnya. Atin pura-pura tidak tahu, jika ia telah tahu lelaki itu menguntitnya selama ini.

Lelaki itu banyak bertanya, meski perempuan berambut ikal sebahu itu menjawab pendek-pendek. Enggan menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya.

Selesai merapikan peralatan salon, lelaki itu membayar lebih dari ongkos yang diminta. Atin sudah menolaknya, tapi lelaki setengah baya itu memaksa.
Ia bilang, itu adalah tips untuknya. Dan ia juga memperkenalkan diri, namanya Suparjo.

Setelah hari itu, hampir dua minggu sekali Parjo datang ke salon. Merapikan rambut, kumis, atau hanya sekedar main.
Ingin rasanya, Atin mengusirnya. Tapi ia takut, akan dipecat majikannya. Karena tidak ramah pada pelanggan.

Tanpa terasa, enam bulan telah berlalu. Parjo tidak lagi muncul di salon.
Atin dan Alis heran. Mereka bertanya-tanya, kemana gerangan tuan royal tips itu. Meski sebal, Atin akhirnya bisa menerima keberadaan lelaki itu.
Sekotak paket dan sepucuk surat datang. Diantar seorang kurir berwajah bulat dan ramah. Suratnya berwarna merah muda bergambar bunga mawar merah yang berbau harum. Dibuka dan dibacanya surat itu.

Dear Atin,
kamu laksana bunga mawar. Indah namun berduri. Tapi itu pertanda, kamu perempuan baik dan tangguh. Duri itu adalah senjatamu, menghalau godaan pria iseng. Teruslah seperti itu, sayang. Kini aku tidak ragu jika harus meninggalkanmu untuk selamanya.

Maafkan Aku yang selama ini tidak berterusterang padamu. Dan baru berani menemuimu setelah memastikan bahwa kau memang anakku. Ibumu dan aku, terlibat cinta rahasia. Itu sebuah kesalahan yang tidak termaafkan. Beruntung, Ayahmu tidak tahu tentang hal ini (jangan kutuk kami untuk masalah ini)
Kini, aku mohon maafkanlah kami berdua. Aku dan Ibumu sudah menerima hukuman batin selama ini. Karena cinta kami tak pernah bisa bersatu dan harus memendam rindu.

Saat kau menerima surat ini, artinya aku sudah mati. Sakit yang menggerogoti tubuhku tak bisa kutahan lagi.
Terimalah sedikit peninggalan dariku. Perhiasan yang sengaja kukumpulkan untuk kuberikan padamu. Gunakan untuk hidup yang lebih baik. Berhentilah dari salon itu. Pemiliknya sungguh pelit.

Dari
Suparjo
Ayah yang tak pernah kau miliki

Atin tertegun. Tidak tahu harus sedih atau gembira. Marah atau kasihan. Perasaannya tak keruan. Lemas dan akhirnya pingsan.

#### Tamat ####

Selasa, 02 Mei 2017

Mengambil Hati Fira

Bangku kelas berserakan sepeninggal anak-anak kelas lX pulang. Hanya ada beberapa anak piket yang bertugas merapikan dan membersihkan kelas.
Fira sedang menyapu, ketika Pak Hamzah memanggilnya.
"Fira! Sini, Bapak mau bicara." Tangannya melambai pada Fira.
Gadis itu mendatanginya dengan enggan. Jika teman-temannya tak ada, ia pasti berani menolak panggilan dari lelaki itu.
"Ada apa?" Suara ketus dan pelan keluar dari mulutnya.
"Nanti, aku ke rumahmu. Mamamu meminta tolong untuk memberikan les tambahan. Jadi, jangan ada alasan untuk menghindar." Laki-laki itu juga berbicara pelan, tapi tegas.
"Kenapa sih, Bapak mempermainkan perasaanku. Kalau Bapak tidak menerima cintaku, ya sudah. Jangan mendekati aku lagi!" Kali ini, Fira bersuara agak keras. Pak Hamzah kelimpungan, takut anak didiknya yang lain mendengar.
"Sssttt ... jangan keras-keras, Fira. Nanti kamu sendiri yang malu. Oke, kami selesaikan dulu tugas piket kamu. Bapak tunggu di depan, aku akan mengantarmu pulang." Lalu lelaki itu berlalu. Meninggalkan Fira yang matanya mulai berkaca-kaca. Tapi secepatnya, ia susut air matanya, agar teman yang lain tidak curiga.

Akhir semester kelas VIII lalu, ia mulai dekat dengan guru matematikanya itu. Awalnya ia meminta tolong diajari salah satu rumus matematika yang masih belum dikuasainya. Lama-lama ia banyak bercerita dan dekat dengan beliau. Pak Hamzah orangnya ramah dan enak diajak bicara. Mungkin karena masih muda, sehingga bisa masuk dalam pembicaraan yang dibahas. Walau sebenarnya, beliau juga baik dengan teman-teman yang lain. Tapi Fira merasakan hal yang berbeda.
Ia merasa sangat cocok dan ingin selalu dekat dengannya. Mungkin, ia merindukan sosok lelaki dewasa. Karena kehilangan Ayah saat ia masih berusia 10 tahun.

Kini, setelah hampir setahun dekat dengan Pak Hamzah, Fira mengungkapkan isi hatinya. Tapi guru yang dicintainya itu menolaknya, hatinya hancur. Rasa sakit dan malu menjadi satu. Semua penjelasan gurunya itu terdengar tidak masuk akal semua. Tertutup sudah telinganya untuk mendengar semua alasannya.
Setelah dua hari tidak masuk sekolah, kini ia harus menghadapinya lagi. Gara-gara Mama tidak mau memenuhi permintaannya. Ia ingin pergi jauh dari gurunya itu.

"Aku mau pindah sekolah." Pintanya pada Mama selesai makan malam.
"Tidak masuk akal! Kenapa? Kamu kan sudah kelas IX, sebentar lagi ujian, Fir." Mama meletakkan bukunya, "Ada apa? Kamu ada masalah?" Kini ia duduk disamping Fira dan mengusap lembut rambut anak semata wayangnya itu.
Lalu gadis yang baru mengenal cinta itu menceritakan semua tentang Pak Hamzah. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia 40-an itu, terkejut. Tapi buru-buru menyembunyikan keterkejutan itu dari anaknya.
Setelah menghela napas, ia mulai berbicara.

"Apa ini juga, alasanmu tidak mau masuk ke sekolah? Sakit perut hanya alasan yang Kau buat-buat, bukan?"
Fira mengangguk lalu menundukkan kepalanya. Ia tak kuasa menatap wajah perempuan yang berjuang sendiri, membiayai hidup dan sekolahnya.
"Sayang, Mama tidak marah atau melarang kamu jatuh cinta. Tapi, Kamu masih terlalu muda untuk memikirkan cinta. Perjalananmu masih sangat jauh. Apa menurutmu, kamu sanggup menikah di usia muda?"
Anak perempuannya mulai meneteskan air mata.
"Kan, tidak harus menikah Ma."
"Lalu, apa? Pacaran? Setelah itu, putus. Sakit hati juga. Lalu, apa yang kamu dapatkan? Buang waktu dan yang paling penting di sini, haram nak. Tidak boleh berpacaran."
Diusapnya air mata dari kedua pipi anak gadisnya itu.
"Coba lihat Mama! Kamu percaya Mama, kan?"
Fira mengangguk pelan.
"Sayang, jatuh cinta dan patah hati adalah hal yang wajar. Tapi jangan pernah membuat hal itu membuatmu melanggar aturan Allah, juga menghalangimu melakukan hal-hal yang penting. Mengabaikan masa mudamu. Menurutmu, penting mana Pak Gurumu itu atau Mama?"
Gadis belia itu merangkul mamanya.
"Tentu saja, Mama! I love you, Ma."
"Baiklah, kalau begitu. Besok kamu boleh bolos satu hari lagi. Tapi setelah itu, Kamu harus berjanji untuk bisa menghadapi masalahmu. Bukan dengan cara melarikan diri. Mama ingin kamu meraih cita-citamu dulu. Oke!"
"Key!" Fira melepaskan rangkulannya dan membaringkan tubuhnya. Mencoba menata hatinya, jika bertemu dengan lelaki itu.

******

"Assalamu'alaikum. Bagaimana? Apa dia sudah mau mengerti?" Tanya seorang lelaki di ponsel Dilla.
"Wa'alaikumsalam. Entahlah, tapi dia sudah tenang sekarang." Jawab perempuan itu dengan suara bimbang.
"Maafkan aku, aku hanya bermaksud mengambil hatinya. Agar ia bisa menerimaku jika aku mendekatimu. Aku ingin menikahimu, Dill. Tak kusangka ia malah jatuh cinta padaku. Lalu ... aku harus bagaimana, sekarang?" Hamzah, lelaki itu terdengar kalut dan gelisah.
"Beri aku kesempatan sekali lagi, aku akan mencoba berbicara lagi padanya. Bahwa ia sudah aku anggap seperti anakku sendiri."
Dilla terdiam sejenak, lalu ia mulai berkata, "Aku akan mencari alasan agar kau bisa dekat lagi dengannya. Cobalah memberinya les tambahan. Tapi jika ia menolak, aku tak kan memaksanya. Maaf!"
"Maksudmu? Kamu tidak mau menikah denganku?" Lelaki yang lebih muda sepuluh tahun dari Dilla itu terdengar putus asa.
"Iya, hanya itu syarat dariku. Mengambil hati Fira, bukan mencuri hatinya. Aku tidak mau bersaing cinta dengan anakku. Lebih baik aku hidup berdua saja dengan Fira sampai ia menikah. Assalamu'alaikum."

Tuuut ... Tuuut.

Suara ponsel ditutup, sebelum sempat Hamzah menjawab salamnya. Kini tergantung usahanya, mengambil hati gadis yang kini patah hatinya. Meluruskan semua persoalan yang kini menjadi rumit.
Dilla, perempuan yang merupakan mama dari Fira. Ia sosok yang cantik, matang, dan tegar. Hamzah bertemu pertama kali saat ia mendaftarkan Fira, tapi mereka dekat setelah tidak sengaja bertemu di sebuah Bank swasta.
Saat itu antrean panjang, Hamzah melihat Dilla berdiri. Tidak mendapatkan tempat duduk. Lalu ia merelakan tempat duduknya. Setelah itu, pembicaraan yang mengalir berlanjut via telepon. Tapi cinta Hamzah terganjal satu syarat, restu dari Fira. Anak peninggalan almarhum suami Dilla. Pendekatan yang dilakukan, mendapatkan respon yang jauh dari perkiraannya.

#### Tamat ####

Senin, 01 Mei 2017

Menuai Cinta

Setelah menikah, aku dan suami memutuskan untuk pindah dari rumah orangtua.
Menyewa sebuah rumah mungil dengan satu kamar tidur. Selain kami tidak membutuhkan terlalu banyak ruang juga sewanya murah. Sangat cocok untuk pasangan yang baru menikah dengan keuangan yang pas-pasan seperti kami.

Seminggu tinggal di kampung ini, kami baru mengenal pak RT dan tetangga sebelah kiri kami. Sepasang suami istri yang sudah tua. Mereka orangnya sangat ramah. Sebenarnya, alasan itu yang membuat kami mengenalnya. 

Setiap pagi, Sang Istri memandikan suaminya. Sakit darah tinggi membuatnya terkena stoke. Nenek yang sehari-hari menjual gorengan itu, tidak pernah terlihat keberatan merawatnya. Karena rumah kami berimpitan dan bagian halaman depan-belakangnya hanya dipisahkan pagar bambu, maka setiap hari kami bisa mendengar celotehan mesra dari keduanya. 

Terdengar lagu-lagu jaman dulu dinyanyikan oleh nenek itu. Lalu suaminya akan mengganggunya dengan mengacau lagu yang dinyanyikan istrinya. Tetapi tidak pernah membuatnya marah. 

Mungkin itulah cara mereka menjaga keutuhan rumah tangganya. 

Suatu hari, aku berkunjung ke rumahnya. Ada sedikit buah-buahan hasil kebun di desa tempat mertua tinggal. Aku berkesempatan mengobrol dengan keduanya.

"Kok kakek dan nenek bisa akur dan awet sampai sekarang. Bagi rahasianya dong ... Hehehe." Tanyaku pada akhirnya, setelah banyak hal kami bincangkan.

"Kuncinya cuma satu. Cinta. Tanamkan dalam setiap harimu dengan suamimu," Kakek berkata sambil tersenyum.

"Kakek dulu, meski bekerja sebagai buruh di pabrik. Dan tidak bisa memberi nenek yang lebih, tapi mempersembahkannya dengan cinta. Diniatkan untuk ibadah, menafkahi keluarga. Berdoa, semoga berkah. Karena kedua anak kami kebutuhannya banyak. Tapi nenek lebih hebat, lho. Cintanya sangat tulus dan dia istri yang pandai bersyukur. Tidak mengeluh jika kurang, tapi membantu mencari solusi bersama-sama. Beruntung kakek memilikinya. Apalagi, kini kakek tidak bisa bekerja dan hanya mengandalkan nenek untuk sekedar mencari makan. Tidak tega kami merepotkan anak-anak kami." Kali ini kakek berkata sambil memegang satu tangan istrinya dan menatap matanya dalam-dalam. 

Kemesraan yang membuatku tersentuh. Cinta mereka sederhana, tapi tak lekang oleh waktu. Diam-diam, aku mengambil pelajaran dari mereka. Belajar menjadi istri yang pandai bersyukur. Mencintai kelebihan dan kekurangan pasangan kita. Berharap, menuai hasil saat tua nanti. Tetap saling mencintai dan menjaga satu sama lain.