Sabtu, 24 Mei 2014

SEPATU KACA UNTUK DINA

Langit masih terang saat kaki-kaki lelah Emak melangkah pulang. Rasa penat bercampur rasa Syukur tergambar di wajahnya yang terlihat tua. Ya, terlihat tua dari umur yang sebenarnya. Lima puluh tahun baru akan ia lewati pertengahan tahun ini. Tapi, guratan-guratan diwajahnya menggambarkan sepuluh tahun lebih tua dari umur sebenarnya.
Pukul empat sore, semua dagangan jamu yang ia jajakan ludes tak bersisa. Tidak setiap hari, rejeki seperti ini didapatnya.
Teringat rengekan Dina, putri semata wayang yang sekarang pasti sudah menunngu di rumah.
"Mak, sepatu sekolahku sudah tidak bisa dipakai lagi..." rengeknya suatu pagi.
Hati wanita paruh baya itu perih, sepatu itu sudah penuh dengan tambalan dan jahitan. Sulit memperbaiki kerusakannya lagi.

Tiba-tiba...
Kakinya terasa menginjak sesuatu yang tajam. Sakit dan perih amat terasa.
Diambilnya benda tajam yang menembus sandal jepit tipis yang ia kenakan. Pecahan kaca yang lumayan besar. Ternyata tanpa sadar, wanita kurus itu menginjak pecahan-pecahan kaca dari pecah belah yang berserakan di depan sebuah rumah besar. Dari halaman dalam sampai di luar pagar.
Entah apa yang terjadi di dalam rumah mewah itu.

Darah segar menetes dari kaki-kaki hitamnya. Dengan menahan sakit, Emak mencari tempat rindang untuk duduk dan membebat kakinya dengan sesobek selendang pembawa bakul jamunya.
Sekedar penahan agar bisa kembali meneruskan perjalanan pulang.
Sebelum meneruskan perjalanan, dicarinya tas plastik besar untuk tempat pecahan-pecahan kaca yang berserakan. Dalam benaknya, ia tidak ingin ada orang lain yang terluka seperti dirinya. dipungutnya satu persatu pecahan-pecahan  yang ada di luar pagar dan tempat-tempat yang terjangkau tangannya.
Setelah semua dirasa cukup, ia pulang. Ditengah perjalanan, terbersit pikiran untuk memanfaatkan saja hasil pungutannya hari ini.
Bergegas dibawanya pecahan-pecahan kaca itu ke Haji Somad. Pengepul barang-barang rosokan yang rumahnya selalu ia lewati saat pulang ke rumahnya.
"Assalamu'alaikum. Bu Kaji, saya bawa pecahan-pecahan kaca, apa bisa ditukar uang..." katanya pada seorang ibu-ibu muda berkalung emas ukuran besar.
"Wa'alaikumsalam. Oalah, Emak toh. Iya, Mak...sini tak timbange" sahutnya dengan ramah dan logat Jawa yang kental.

Saat menunggu barangnya ditimbang, mata Emak tertumbuk pada sepasang sepatu bekas yang ukurannya sama dengan kaki Dina. Tapi ia tidak berani bertanya. Hanya diam dan membatin saja.
Akhirnya, Bu Haji Somad sudah selesai menimbang. Ditolehnya Emak yang sedang asik melamun.
"Mak, Emak lihat apa?" tanyanya sambil menyerahkan beberapa lembar Pattimura di tangan Emak.
"Oh, ndak...ndak, Bu Kaji," jawab Emak gugup.
Bu Haji Somad mengarahkan pandangannya ke arah yang dilihat oleh Emak.
"Emak berminat sama sepatu itu? Kebetulan kemarin ada yang butuh uang dan menjualnya di sini." terang wanita muda berkerudung merah itu, seperti tahu apa yang ada di benak Emak.
"Kalau Emak mau, tukar saja uang hasil kaca-kaca tadi untuk sepatu itu," sambungnya.

Seperti tidak percaya, tapi akhirnya Emak pun setuju untuk menukar uang penjualan kaca yang sudah melukai kakinya dengan sepatu untuk Dina. Memang bukan sepatu baru, tetapi masih cukup bagus dan layak untuk dipakai ke sekolah.

Sesampainya di rumah, Dina menyambut Emaknya dengan wajah yang berbinar-binar.
Sepatu di tangan wanita tua itu membuatnya bahagia. Emak bersyukur memiliki anak seperti Dina. Anak berperawakan sedang itu dari kecil hingga berumur 14 tahun saat ini tidak pernah menyusahkannya.
Ia begitu mandiri, bahkan sebelum Bapaknya meninggal saat dia masih berumur 6 tahun.

Gadis manis pelipur lara seorang ibu yang berjuang sorang diri demi menyambung hidup.
Ajarannya untuk selalu bersyukur akan nikmat yang Allah beri, selalu diingat gadis yang sudah mulai beranjak dewasa itu.

Setelah shalat magrib berjama'ah, ia ceritakan asal rizki yang diterima hari ini.
Awalnya ada gurat kesedihan di mata Dina, tapi Emak berhasil meyakinkannya. Apa yang terjadi padanya hari ini adalah jalan dari Allah untuk mendapatkan rizki.
Bahkan setelah itu mereka berdua tertawa dan menamai sepatu itu dengan 'sepatu kaca'.
Karena, berkat kaca yang melukai kaki Emaknya, ia bisa mempunyai sepatu lagi.


  



















h