Selasa, 02 Mei 2017

Mengambil Hati Fira

Bangku kelas berserakan sepeninggal anak-anak kelas lX pulang. Hanya ada beberapa anak piket yang bertugas merapikan dan membersihkan kelas.
Fira sedang menyapu, ketika Pak Hamzah memanggilnya.
"Fira! Sini, Bapak mau bicara." Tangannya melambai pada Fira.
Gadis itu mendatanginya dengan enggan. Jika teman-temannya tak ada, ia pasti berani menolak panggilan dari lelaki itu.
"Ada apa?" Suara ketus dan pelan keluar dari mulutnya.
"Nanti, aku ke rumahmu. Mamamu meminta tolong untuk memberikan les tambahan. Jadi, jangan ada alasan untuk menghindar." Laki-laki itu juga berbicara pelan, tapi tegas.
"Kenapa sih, Bapak mempermainkan perasaanku. Kalau Bapak tidak menerima cintaku, ya sudah. Jangan mendekati aku lagi!" Kali ini, Fira bersuara agak keras. Pak Hamzah kelimpungan, takut anak didiknya yang lain mendengar.
"Sssttt ... jangan keras-keras, Fira. Nanti kamu sendiri yang malu. Oke, kami selesaikan dulu tugas piket kamu. Bapak tunggu di depan, aku akan mengantarmu pulang." Lalu lelaki itu berlalu. Meninggalkan Fira yang matanya mulai berkaca-kaca. Tapi secepatnya, ia susut air matanya, agar teman yang lain tidak curiga.

Akhir semester kelas VIII lalu, ia mulai dekat dengan guru matematikanya itu. Awalnya ia meminta tolong diajari salah satu rumus matematika yang masih belum dikuasainya. Lama-lama ia banyak bercerita dan dekat dengan beliau. Pak Hamzah orangnya ramah dan enak diajak bicara. Mungkin karena masih muda, sehingga bisa masuk dalam pembicaraan yang dibahas. Walau sebenarnya, beliau juga baik dengan teman-teman yang lain. Tapi Fira merasakan hal yang berbeda.
Ia merasa sangat cocok dan ingin selalu dekat dengannya. Mungkin, ia merindukan sosok lelaki dewasa. Karena kehilangan Ayah saat ia masih berusia 10 tahun.

Kini, setelah hampir setahun dekat dengan Pak Hamzah, Fira mengungkapkan isi hatinya. Tapi guru yang dicintainya itu menolaknya, hatinya hancur. Rasa sakit dan malu menjadi satu. Semua penjelasan gurunya itu terdengar tidak masuk akal semua. Tertutup sudah telinganya untuk mendengar semua alasannya.
Setelah dua hari tidak masuk sekolah, kini ia harus menghadapinya lagi. Gara-gara Mama tidak mau memenuhi permintaannya. Ia ingin pergi jauh dari gurunya itu.

"Aku mau pindah sekolah." Pintanya pada Mama selesai makan malam.
"Tidak masuk akal! Kenapa? Kamu kan sudah kelas IX, sebentar lagi ujian, Fir." Mama meletakkan bukunya, "Ada apa? Kamu ada masalah?" Kini ia duduk disamping Fira dan mengusap lembut rambut anak semata wayangnya itu.
Lalu gadis yang baru mengenal cinta itu menceritakan semua tentang Pak Hamzah. Perempuan yang masih terlihat cantik di usia 40-an itu, terkejut. Tapi buru-buru menyembunyikan keterkejutan itu dari anaknya.
Setelah menghela napas, ia mulai berbicara.

"Apa ini juga, alasanmu tidak mau masuk ke sekolah? Sakit perut hanya alasan yang Kau buat-buat, bukan?"
Fira mengangguk lalu menundukkan kepalanya. Ia tak kuasa menatap wajah perempuan yang berjuang sendiri, membiayai hidup dan sekolahnya.
"Sayang, Mama tidak marah atau melarang kamu jatuh cinta. Tapi, Kamu masih terlalu muda untuk memikirkan cinta. Perjalananmu masih sangat jauh. Apa menurutmu, kamu sanggup menikah di usia muda?"
Anak perempuannya mulai meneteskan air mata.
"Kan, tidak harus menikah Ma."
"Lalu, apa? Pacaran? Setelah itu, putus. Sakit hati juga. Lalu, apa yang kamu dapatkan? Buang waktu dan yang paling penting di sini, haram nak. Tidak boleh berpacaran."
Diusapnya air mata dari kedua pipi anak gadisnya itu.
"Coba lihat Mama! Kamu percaya Mama, kan?"
Fira mengangguk pelan.
"Sayang, jatuh cinta dan patah hati adalah hal yang wajar. Tapi jangan pernah membuat hal itu membuatmu melanggar aturan Allah, juga menghalangimu melakukan hal-hal yang penting. Mengabaikan masa mudamu. Menurutmu, penting mana Pak Gurumu itu atau Mama?"
Gadis belia itu merangkul mamanya.
"Tentu saja, Mama! I love you, Ma."
"Baiklah, kalau begitu. Besok kamu boleh bolos satu hari lagi. Tapi setelah itu, Kamu harus berjanji untuk bisa menghadapi masalahmu. Bukan dengan cara melarikan diri. Mama ingin kamu meraih cita-citamu dulu. Oke!"
"Key!" Fira melepaskan rangkulannya dan membaringkan tubuhnya. Mencoba menata hatinya, jika bertemu dengan lelaki itu.

******

"Assalamu'alaikum. Bagaimana? Apa dia sudah mau mengerti?" Tanya seorang lelaki di ponsel Dilla.
"Wa'alaikumsalam. Entahlah, tapi dia sudah tenang sekarang." Jawab perempuan itu dengan suara bimbang.
"Maafkan aku, aku hanya bermaksud mengambil hatinya. Agar ia bisa menerimaku jika aku mendekatimu. Aku ingin menikahimu, Dill. Tak kusangka ia malah jatuh cinta padaku. Lalu ... aku harus bagaimana, sekarang?" Hamzah, lelaki itu terdengar kalut dan gelisah.
"Beri aku kesempatan sekali lagi, aku akan mencoba berbicara lagi padanya. Bahwa ia sudah aku anggap seperti anakku sendiri."
Dilla terdiam sejenak, lalu ia mulai berkata, "Aku akan mencari alasan agar kau bisa dekat lagi dengannya. Cobalah memberinya les tambahan. Tapi jika ia menolak, aku tak kan memaksanya. Maaf!"
"Maksudmu? Kamu tidak mau menikah denganku?" Lelaki yang lebih muda sepuluh tahun dari Dilla itu terdengar putus asa.
"Iya, hanya itu syarat dariku. Mengambil hati Fira, bukan mencuri hatinya. Aku tidak mau bersaing cinta dengan anakku. Lebih baik aku hidup berdua saja dengan Fira sampai ia menikah. Assalamu'alaikum."

Tuuut ... Tuuut.

Suara ponsel ditutup, sebelum sempat Hamzah menjawab salamnya. Kini tergantung usahanya, mengambil hati gadis yang kini patah hatinya. Meluruskan semua persoalan yang kini menjadi rumit.
Dilla, perempuan yang merupakan mama dari Fira. Ia sosok yang cantik, matang, dan tegar. Hamzah bertemu pertama kali saat ia mendaftarkan Fira, tapi mereka dekat setelah tidak sengaja bertemu di sebuah Bank swasta.
Saat itu antrean panjang, Hamzah melihat Dilla berdiri. Tidak mendapatkan tempat duduk. Lalu ia merelakan tempat duduknya. Setelah itu, pembicaraan yang mengalir berlanjut via telepon. Tapi cinta Hamzah terganjal satu syarat, restu dari Fira. Anak peninggalan almarhum suami Dilla. Pendekatan yang dilakukan, mendapatkan respon yang jauh dari perkiraannya.

#### Tamat ####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar