Jumat, 05 Mei 2017

Marina

Seorang perempuan bertelanjang kaki berlari di pinggir pantai berpasir putih. Matanya terlihat sembab, bekas menangis. Tapi ia tidak peduli.
Pandangan orang yang masih terlihat bermain di pantai pun tidak dihiraukannya.
Setelah dirasa cukup jauh dari rumah penginapan yang terletak di ujung pantai, ia terduduk di pasir yang lembut.
Tangisnya pecah lagi, ia kesal sekali dengan suaminya.

Jauh-jauh datang berlibur, berharap dapat rekreasi bersama. Bergembira dan seru-seruan dengan suami dan anak-anak. Tapi semua diluar dugaannya.
Suaminya tetap saja bekerja, serius di depan laptopnya. Sesekali gawainya berdering dan mengobrol lama dengan teman kantornya. Urusan kantor, katanya.
Anak-anak yang ribut bercanda dan terkadang bertengkar. Sesekali mendapat teguran keras dari suaminya. Apalagi saat menelpon.

"Jangan rame-rame! Ayah ada kerjaan, nih. Bisa diam sebentar, gak!"

Anak-anak terdiam sejenak, lalu berulah lagi.
Mendengar suaminya uring-uringan, Marina tidak tahan lagi. Ini liburan, dan semua sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. Dan suami yang super sibuk itu pun telah berjanji, meluangkan waktu untuk dia juga anak-anak. Berlibur bersama tanpa ada urusan kantor yang dibawa.

"Mas, anak-anak sedang liburan. Bukan salah mereka jika sedikit ribut. Kamulah yang seharusnya mengalah. Bermainlah bersama mereka!" Marina menegur suaminya dengan suara pelan dan agak ditekan, ia tidak ingin terlihat ribut di depan anak-anak. Ia tidak ingin merusak suasana liburan mereka.

"Hmm ... baiklah!" Suaminya cuek, menjawab dengan mata tetap tertuju pada laptopnya.

"Kamu kan sudah janji, untuk liburan. Tapi kenapa masih membawa pekerjaanmu, sih? Bermainlah bersama kami, atau kita jalan-jalan saja di pantai." Marina mulai merasa kesal dengan sikap suaminya. Ia merasa diabaikan.

"Iya, sebentar lagi. Nanggung, nih! Kau tahu sendiri, Bos tadi sudah menanyakannya," jawab lelaki yang sudah menikahinya 7 tahun itu, tanpa menoleh sedikit pun.

Emosi Marina memuncak. Perempuan itu marah sekali. Bukan satu dua kali ini terjadi. Dan ia selalu mencoba mengungkapkan semua perasaannya.
Mengurai masalah yang timbul, dengan membuka komunikasi. Tapi sepertinya, semua sia-sia. Karena kejadian selalu berulang lagi.
Untuk membuang rasa marah dan kesal, ia menghambur keluar penginapan. Berlari dan berlari, berharap angin membawa pergi semua beban di hatinya.

Kini saat terduduk lelah, kakinya mulai terasa perih. Beberapa goresan terlihat di kakinya yang mulus. Mungkin tergores pecahan kerang atau karang-karang yang terserak di sekitaran pantai.
Tapi perihnya tidak lebih perih dari hatinya yang diliputi kecewa.
Lalu sayup terdengar seperti ada suara memanggilnya.

Marinaaa ....
Marinaaa ....

Suara itu seperti berasal dari arah laut. Perempuan itu terdiam, menghentikan tangisnya. Mencoba mempertajam pendengarannya. Mungkin ia salah dengar.
Tidak mungkin ada yang memanggilnya.
Hanya ada suara deburan ombak dan angin yang berembus. Pohon-pohon kelapa terlihat sedikit bergoyang, mungkin suara gesekan daun, batinnya.
Diedarkannya pandangan, pantai terlihat sepi. Hanya ada satu atau dua nelayan juga pedagang yang bersiap pulang. Mereka terlihat sibuk sendiri, tidak mungkin panggilan itu datang dari mereka. Pengunjung pantai sudah tidak terlihat, pasti sudah pulang sebelum senja datang.

Marina berdiri, sebentar lagi gelap.
Diusap air matanya dengan ujung lengannya. Meski masih terlihat sembab, ia tidak peduli.
Hatinya sudah sedikit tenang, setelah berlari dan menangis tadi. Diputuskannya untuk kembali ke penginapan. Walau sedikit enggan bertemu dengan suaminya, tapi ia tidak tega meninggalkan anak-anaknya sendirian. Tidak dipedulikan oleh ayahnya yang gila kerja.

Baru beberapa langkah ia berjalan. Suara itu terdengar lagi, sekarang lebih jelas. Memanggil namanya.

Marinaaa ....
Marinaaa ....

Kali ini, menggodanya untuk mendatangi suara itu.
Ia menoleh ke arah laut, seperti ada sesuatu yang menariknya. Tarikan yang sangat kuat untuk mendatangi suara tersebut.

#### Bersambung ####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar