Minggu, 07 Mei 2017

Marina (3)

"Namaku Faro, dari kaum Mer. Bukan putri duyung, separuh manusia dan ikan, seperti pemikiran kalian orang-orang udara. Lucu sekali menggambarkan kaum kami seperti itu."
Dia berkata dengan tatapan meledek, seolah-olah, manusia yang hidup di udara tidak tahu apa-apa.
Marina melengos, kesal.

"Coba kulepaskan tanganmu, menyelamlah sendiri. Kini kau dan laut adalah satu." Faro melepaskan pegangannya, tapi Marina ganti memegang pergelangan tangannya.
"Jangan! Aku takut tenggelam."
"Tidak akan, percayalah. Asal jangan berpikir untuk bernapas atau memikirkan udara. Kau akan baik-baik saja. Cobalah!"
Pelan-pelan dilepaskan tangannya. Ia kini menyelam sendiri.
Tangannya ia tangkupkan lalu ia rentangkan. Marina tertawa gembira, ia merasa jiwanya bebas.

"Sekarang, ikut aku. Akan kutunjukkan tempat yang paling indah di sini."
Lalu ia melesat cepat, Marina tak mau ketinggalan. Dia mengikuti secepat yang ia mampu. Jika tertinggal agak jauh, Faro akan menunggunya dengan sabar.
Mereka menyusuri laut, melewati segerombolan ikan-ikan kecil dan biota laut lain. Sesekali Faro berhenti seperti menyapa mereka. Tapi Marina sama sekali tidak mengerti bahasa mereka.

Kemudian sampailah ia di tempat yang sangat luas, penuh karang beraneka warna. Pasirnya terlihat putih bersih. Ikan-ikan dan makhluk laut yang ada lebih beragam dan bermacam warna. Pemandangan yang sangat indah. Faro terus mengajaknya berkeliling.
Lalu ada tirai cahaya dari atas ke bawah. Marina mendongak ke atas, terlihat ada lapisan cahaya di sana.
"Itu permukaan air laut yang ditimpa cahaya matahari." Jelas Faro.
"Oh ya? Apakah sekarang sudah pagi?" Marina tersentak, ia merasa baru beberapa menit menikmati keindahan alam bawah laut.
"Kenapa? Justru bagus, kamu akan aku ajak melihat kapal karam. Tempatnya agak jauh, tapi selama kau ada di dekatku. Semua pasti aman."
Ia mengedipkan sebelah matanya, menggoda Marina.
"Dulu, banyak orang yang tenggelam sepertimu, kaum Mer banyak yang menolong agar mereka pasrah. Tapi kalian yang dari udara, sulit sekali mendengarkan kami. Mungkin memang tidak ingin meninggalkan udara. Akhirnya, banyak yang mati tenggelam. Sudahlah! Ayo, kita berangkat sekarang." Dengan sekali mengibaskan ekornya, Faro meluncur lurus ke depan.

Tapi Marina bergeming di tempatnya. Entah kenapa, tiba-tiba Ia teringat akan  suaminya, juga anak-anak. Sekelebat bayangan-bayangan mereka datang silih berganti, saat suaminya mengucapkan cintanya, " I love You, Ma. Smoga kita selalu bersama, ya ...."
Lalu saat ia mengajari anak pertamanya berjalan juga berbicara.
"Ayo sayang, ucapkan Maaama."
"Maaa ... Maaa."
Tawanya berderai melihat anak pertamanya.

"Pinter anak Mama, selangkah lagi yuk!"

Berganti bayangan si bungsu yang minta digendong. Sesaat kemudian, badannya kembali terasa sesak. Diimpit air dari segala arah.

Di waktu yang sama, Faro yang tidak merasakan kehadiran Marina, menoleh. Dilihatnya perempuan itu tersiksa dan kesakitan karena telah mengingat daratan. Secepatnya, ia berbalik arah. Mengguncang-guncang tubuh Marina.

"Hentikan! Hentikan! Lupakan udara, lupakan! Kau bisa mati."
Ia panik. Lalu ditariknya Marina ke atas permukaan menuju udara. Tidak dipedulikannya lagi, ia akan tersiksa sesaat sebelum berada di udara.
Hampir sampai di atas, Faro merasakan dadanya sakit luar biasa. Udara menyakitinya, walau hanya sesaat sebelum akhirnya ia benar-benar berada di permukaan laut. Ditepuk-tepuknya pipi Marina yang hampir tak sadarkan diri.
"Jangan tidur. Kumohon ... tetaplah terjaga."

Antara sadar dan tidak, Marina mendengar suara-suara. Awalnya tidak terlalu jelas, tetapi lambat laun ia bisa mendengarnya.
Faro. Ia berusaha keras menolong Marina. Akhirnya, ia sepenuhnya sadar dan terbatuk-batuk mengeluarkan air laut yang terminum. Masih dirasakannya sakit yang tak terhingga di sekujur tubuhnya.

Ia menoleh menatap wajah penolongnya. Baru tersadar, jika wajah itu mirip sekali dengan Bara. Hanya saja ia memiliki warna mata yang coklat sedangkan Bara memiliki warna mata yang hitam. Kulit yang dimilikinya pun coklat bagai terbakar sinar matahari. Berbeda dengan suaminya yang jarang terkena sinar matahari langsung.

"Terimakasih." Kata Marina lemah.
"Kau bodoh!" Ia membuang muka. "Sudah kubilang, lupakan udara. Kau akan memiliki kehidupan yang lebih baik di sini." Wajahnya terlihat kecewa.
"Aku tidak bisa, Faro. Aku telah.memiliki suami dan anak-anak. Mereka pasti menungguku pulang." Dengan kedua tangannya, Marina memalingkan wajah laki-laki dari kaum Mer itu, agar melihat wajahnya.
"Aku tidak mungkin selamanya di sini. Tempatku bukan di sini. Aku bahkan tidak tahu, mengapa aku sampai di sini."
Faro menundukkan kepalanya, tidak berani menatap langsung mata Marina.

"Apa kau tidak mengingatnya, Marina. Dulu, sewaktu kau masih kecil telah menolongku dari jeratan jala nelayan. Setelah itu, Aku selalu menantimu dan memanggil-manggil namamu. Tapi kau tak pernah hadir. Hingga saat itu. Kau datang memenuhi panggilanku."

Faro menceritakan semua kejadian lampau. Marina mendengarkan tanpa membantah.
Dia memang telah lupa sama sekali tentang hal itu.
Yang diingatnya saat kecil dulu, Ayahnya pernah bercerita. Ia di bawa ke rumah orang pintar atau dukun sepulang berlibur dari pantai. Karena selalu menceracau tidak jelas. Ayah menganggapnya kesurupan hantu laut.

"Sekarang, aku orang yang berbeda Faro. Lagi pula, kita tidak mungkin bersatu. Aku tidak mau tinggal di laut dan kau pun tak mungkin tinggal bersamaku di darat. Tolong bawa aku kembali, Faro. Kumohon!"

Mata Faro terlihat satu kesedihan yang disembunyikan, tapi ia menyetujui permohonan Marina. Ia tidak ingin memaksa perempuan yang diam-diam mengambil hatinya saat itu. Ia tak ingin melihat perempuan cantik itu mati, jika ia memaksa tinggal dan hidup dengannya.

"Baiklah. Tapi, berjanjilah untuk mengikuti perintahku. Sebelum air laut masuk ke tubuhmu, kau harus pasrah dan melupakan bernapas. Melupakan udara untuk sejenak. Aku akan membawamu mendekat ke pantai. Tapi aku tidak mungkin membawamu jauh ke pantai. Kau harus berenang sendiri. Kaummu tak akan menyukai kehadiranku. Mereka akan menangkap dan membunuhku."

Marina mengangguk. Dan menyelam ke dalam laut, setelah pasrah pada laut yang menelannya. Melupakan udara dan tentang bernapas. Membiarkan air laut masuk ke tubuhnya dan menyatu bersamanya. Faro memegang pergelangan tangannya, membawanya menyelam kembali ke arah pantai.

Di tempat yang sepi, di antara batuan karang yang besar. Faro mengajak Marina naik ke permukaan. Saat itu, malam telah datang kembali. Karena waktu di laut dan daratan memiliki perbedaan. Waktu di laut lebih lambat dibandingkan di darat.

Ia melepaskan Marina dengan berat hati.
Dengan sabar ia bersembunyi, menunggu sampai perempuan itu berenang dengan aman kembali ke pantai.

Marina berenang sekuat tenaga ke pantai. Hatinya diliputi rasa rindu sekaligus penyesalan. Karena telah meninggalkan orang-orang yang dikasihinya. Tanpa sadar, ia berenang sambil menitikkan air mata.
Tak pernah ada dalam bayangannya, mengalami hal serupa ini. Faro, laut dan dirinya yang menyatu, pemandangan bawah laut, dan semua cerita Faro tentang masa kecil dan perasaannya.

Di tepian pantai, Marina berdiri. Sesaat sebelum pergi, ia melambaikan tangan ke arah jajaran batu karang. Meskipun yang terlihat hanyalah gundukan hitam di bawah temaram sinar bulan. Ia yakin, Faro masih di sana memandangnya. Menunggunya dan mungkin memanggil-manggil namanya.
Sedang ia harus pergi, menjauh dari pantai dan laut selamanya.

#### Tamat ####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar