Rabu, 03 Mei 2017

Cinta Seorang Lelaki Tua

Pagi ini, baru saja Atin datang ke salon, tempatnya bekerja selama setahun terakhir. Alis, teman sekerjanya memberitakan kalau ada seorang bapak-bapak mencarinya.

"Pelanggan baru ya, Mbak? Tadi tak tawarin, biar aku aja yang layanin. Tapi gak mau. Dia bilang, mau sama Mbak Atin aja." Kata perempuan bergincu merah darah itu, sambil merapikan meja tunggu khusus pelanggan.

Atin diam, hatinya gelisah. Lelaki itu, beberapa hari ini selalu menguntit kemana pun dia pergi. Lelaki itu, hampir sepantaran ayahnya. Memerhatikannya dari jauh, dibalik sedan putih miliknya. Perempuan muda itu, mengambil sikap tak peduli. Asal lelaki itu tidak macam-macam padanya.

Meski sebenarnya ia merasa jengah, tapi sulit menghindarinya. Tidak mungkin ia bersembunyi. Selain bekerja di salon, ia juga harus mencari nasabah sepulang kerja. Bahkan terkadang, diam-diam pelanggan salon pun diprospeknya. Demi anak semata wayang yang ditinggalkan ayahnya begitu saja. Tidak mungkin selamanya, menumpang terus di rumah Ayahnya. Ia sudah lanjut usia, apalagi Ibu juga sudah tiada. Seharusnya Ayah sudah tinggal menikmati hari tua. Tidak dibebani mengurus anak cucunya. Kewajibannya sebagai anaklah yang harus mengurus Ayahnya. Ia lelaki yang sangat sabar dan pendiam. Atin merasa beruntung menjadi anaknya.

Sekarang, lelaki itu sudah mulai terang-terangan memperlihatkan diri. Mencoba menemuinya.

"Selamat siang. Mbak Atin, ya?" Lelaki itu kembali mendatangi salon tempat ia bekerja.
Lalu ia meminta dicuci dan dipotong rambutnya. Atin pura-pura tidak tahu, jika ia telah tahu lelaki itu menguntitnya selama ini.

Lelaki itu banyak bertanya, meski perempuan berambut ikal sebahu itu menjawab pendek-pendek. Enggan menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya.

Selesai merapikan peralatan salon, lelaki itu membayar lebih dari ongkos yang diminta. Atin sudah menolaknya, tapi lelaki setengah baya itu memaksa.
Ia bilang, itu adalah tips untuknya. Dan ia juga memperkenalkan diri, namanya Suparjo.

Setelah hari itu, hampir dua minggu sekali Parjo datang ke salon. Merapikan rambut, kumis, atau hanya sekedar main.
Ingin rasanya, Atin mengusirnya. Tapi ia takut, akan dipecat majikannya. Karena tidak ramah pada pelanggan.

Tanpa terasa, enam bulan telah berlalu. Parjo tidak lagi muncul di salon.
Atin dan Alis heran. Mereka bertanya-tanya, kemana gerangan tuan royal tips itu. Meski sebal, Atin akhirnya bisa menerima keberadaan lelaki itu.
Sekotak paket dan sepucuk surat datang. Diantar seorang kurir berwajah bulat dan ramah. Suratnya berwarna merah muda bergambar bunga mawar merah yang berbau harum. Dibuka dan dibacanya surat itu.

Dear Atin,
kamu laksana bunga mawar. Indah namun berduri. Tapi itu pertanda, kamu perempuan baik dan tangguh. Duri itu adalah senjatamu, menghalau godaan pria iseng. Teruslah seperti itu, sayang. Kini aku tidak ragu jika harus meninggalkanmu untuk selamanya.

Maafkan Aku yang selama ini tidak berterusterang padamu. Dan baru berani menemuimu setelah memastikan bahwa kau memang anakku. Ibumu dan aku, terlibat cinta rahasia. Itu sebuah kesalahan yang tidak termaafkan. Beruntung, Ayahmu tidak tahu tentang hal ini (jangan kutuk kami untuk masalah ini)
Kini, aku mohon maafkanlah kami berdua. Aku dan Ibumu sudah menerima hukuman batin selama ini. Karena cinta kami tak pernah bisa bersatu dan harus memendam rindu.

Saat kau menerima surat ini, artinya aku sudah mati. Sakit yang menggerogoti tubuhku tak bisa kutahan lagi.
Terimalah sedikit peninggalan dariku. Perhiasan yang sengaja kukumpulkan untuk kuberikan padamu. Gunakan untuk hidup yang lebih baik. Berhentilah dari salon itu. Pemiliknya sungguh pelit.

Dari
Suparjo
Ayah yang tak pernah kau miliki

Atin tertegun. Tidak tahu harus sedih atau gembira. Marah atau kasihan. Perasaannya tak keruan. Lemas dan akhirnya pingsan.

#### Tamat ####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar