Mempunyai rumah mewah? wow, semua orang juga mau.
Tapi sayang, kondisi setiap orang tidaklah sama.
Ada yang bisa dengan mudah mewujudkan
rumah idaman dengan cepat,
ada yang biar lambat tetapi akhirnya terwujud, dan
ada yang harus memendam impian dalam-dalam agar tidak stres.
Home Sweet Home dan Rumahku Istanaku.
Istilah yang selalu di pakai banyak orang untuk menggambarkan
kesyukuran.
Bagaimanapun kondisinya, tidak ada tempat yang lebih nyaman selain
rumah sendiri.
Begitu juga dengan Keluarga Badrun,
tinggal di ‘rumah mewah’ tidak menjadikan mereka orang yang lupa bersyukur.
Mereka selalu ceria di berbagai kesempatan.
Meskipun pada awal menempati rumah tersebut,
bukan tanpa cobaan.
Saat musim panen kedelai tiba, serangan
ulat bulu tak dapat dihindarkan.
Huft... jangan tanya seramnya.
Setiap mau tidur atau duduk harus selalu
waspada, menoleh kanan-kiri, melihat atas-bawah, melongok ke bawah kolong
tempat tidur, dan membuka-buka bawah bantal.
Benar-benar heri (heboh sendiri).
Kalau keluar rumah, lain lagi ceritanya.
Jalan-jalan penuh dengan ulat bulu yang sedang berjalan santai. Menjijikkan
sekali, saat kaki menginjak tubuh-tubuh mungil mereka.
Kries...kries....
Yach...jijay....
Akan tetapi, jika malam tiba.
Suasana yang begitu
sepi menjadi indah.
Waktu hujan datang, suara katak bersahut-sahutan.
Dan seperti tidak mau kalah, para jangkrik juga ikut
heboh menyanyikan lagu untuk malam.
Tapi itu dulu, saat rumah masih jarang
di dirikan.
Hati begitu tenang dan damai saat mendengar
nyanyian alam.
Saat menengadah ke langit,
bintang-bintang bertebaran di gelapnya malam.
Subhanallah...cantiiik sekali.
Meskipun jalan untuk masuk ke rumah
masih becek dan terjal,
mereka tidak merasakan itu sebagai masalah besar.
"Alaah...anggap saja sedang Of Road," kata Pak Badrun suatu ketika.
Tapi musim ulat bulu sekarang sudah
berakhir.
Sekarang rumah sudah banyak yang didirikan.
Suasana malam sudah tidak lagi sama. Suara katak dan jangkrik tidak pernah terdengar
lagi.
Mereka tergusur secara alami, pindah ke habitat yang lebih cocok dengan kehidupan
mereka.
Pada satu siang, Bu Badrun menjemput
anak-anak pulang dari sekolah.
Saat melewati pematang sawah yang sepi, ibu dari
dua orang anak itu berteriak keras-keras...”Aaaaah...!”
Terkejut, kedua anaknya pun langsung
bertanya,”Ibu kenapa, sih?”
Dengan tertawa, ibu centil ini menjawab
enteng,”Ah, tidak.
Kalau melihat sawah yang sepi, Ibu suka pingin teriak. Lega
rasanya kalau sudah begitu.”
“Ooo...” jawab mereka serempak.
Setelah melewati pematang sawah yang
baru saja ditanami padi, Bu Badrun berbelok masuk menuju jalan perumahan tempat mereka
tinggal.
Saat sudah mendekati blok rumah mereka,
tiba-tiba kedua anak Bu Badrun berteriak kencang dan tertawa
bebarengan,
”Aaaa...! Hahaha...”.
Ibu bertubuh gemuk itu langsung menegur
mereka.
“Hush, kok teriak-teriak di sini! Nanti yang punya rumah di sini pada
keluar, loh.
Dikira ada apa-apa nanti.”
Ajeng, anak pertama Bu Badrun
menjawab,”Kan ada sawah, kita juga pingin lega seperti Ibu tadi.”
"Iyaaa, Bu..." sahut Andi membebek.
“Aih...anak pintar. Ibu tadi kan
teriak di pematang sawah. Kanan kiri sawah semua, sayang.
Tidak ada orang yang mendengar
kita berteriak. Kalau di sini beda.
Kiri memang sawah tapi sebelah kanan kan,
rumah.” Bu Badrun memberi penjelasan sambil tetap menjalankan motor butut miliknya.
“Ooo...begitu,” jawab mereka kompak
(lagi).
Lalu mereka tertawa bersama.
Begitu indah hidup jika memandang semua
masalah dan keadaan dengan pandangan positif. "Rumah mewah” (mepet
sawah), tidak akan menjadi nyaman jika kita tidak melihat dengan rasa syukur.
Begitupun sebaliknya, rumah mewah tidak akan membuat penghuninya nyaman jika
masih merasa kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar